Tugas Kelompok
IKHLAS
DAN PENGARUHNYA DALAM MENUNTUT
Disusun oleh :
NO
|
NAMA
|
NIM
|
01
|
MUH
SABIR
|
105720477814
|
02
|
SRI
EKA WULANDARI
|
|
3
|
ETIKA
ROSWANI
|
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDY MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015/2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang ikhlas dan
pengaruhnya dalam menuntut ilmu dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Secara
bahasa, Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari
kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah
saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia
mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah,
mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia,
tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian Si Muslim
tersebut menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan
kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dan yang berkarakter seperti itulah yang
mempunyai semboyan “Allahu Ghayaatunaa”, yang artinya Allah adalah tujuan kami,
dalam segala aktivitas dalam mengisi kehidupan.
Syarat
diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas sebagaimana diterangkan dalam ayat Al
Qur'an (QS. Az Zumar: 65)," Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan
hapuslah amalmu." Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang
tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang
riya’ atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya setan. Syaitan
berkata,” Ya Tuhanku, oleh karena Engkau telah menetapkanku sesat, sungguh akan
kuusahakan agar anak manusia memandang indah segala yang tampak di bumi dan aku
akan sesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hambaMu dari antara mereka yang
ikhlas (Al-Hijr: 39-40).
Seseorang yang ikhlas ibarat orang
yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di
sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika
beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu
kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak
membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang
dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah
menyerah dan selalu kecewa.Tetapi banyak dari kita yang beribadah tidak
berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan dengan sikap riya’ atau
sombong supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal inilah yang dapat
menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh allah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
Pengaruh ikhlas dalam menuntut ilmu
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
memenuhi tugas AIK 3 (Agama Islam Dan Kemuhammadiyaan)
2. Memberikan
pengetahuan kepada pembaca tentang
ikhlas dan pengaruhnya dalam menuntut ilmu.
BAB
2
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN
IKHLAS
khlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak
dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).
Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan
Artinya; ,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus.
”
Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang
sedikit.”
Tatkala
Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau
tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan
ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman
Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu
‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang
paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi
tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas,
juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika
dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”
Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat
110.
Imam
Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika
engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh
manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka
ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena
itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir.
Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata,
“Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta
ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah
mencela orang-orang munafik.”
B.
MAKNA IKHLAS
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan
menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang
menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan
secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang
merusak.
Seseorang
yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak
menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah
akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan
beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak
terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal
tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena
itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh
perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan
kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan,
sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara
fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu
Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
C.
CIRI-CIRI
ORANG YANG IKHLAS
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat,
diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal,
baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun
celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa
ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin
bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan
waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal.
Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka,
seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan
berjihad.
Al-Qur’an
telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik,
membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya.
Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk
(tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam
keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku
beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat, dengan
kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti
debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya
sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah
kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan
yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam
kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau
celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk
sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas
akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai,
sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para
dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu
mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa
menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk
kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan
diri atau lembaganya semata.
D. TANDA
IKHLAS DALAM BERAMAL
1. berusaha
menyembunyikan amal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ
التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
Artinya : “Sesungguhnya Allah mencintai hamba
yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka
mengasingkan diri.” Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak
ditampakkan pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan,
“Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi,
pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam
mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka
lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan,
“Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan
bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau
menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh
mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di
hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan,
“Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun
hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah
terserang penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi,
hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang
ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat
kelak.”
2.
Tidak Mencari Popularitas dan Merasa Diri
Serba Kekurangan dalam Beramal
Inilah di
antara tanda ikhlas. Akan tetapi, kebanyakan orang malah ingin kondang dan
tenar. Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu
menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari
ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,
“Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu
lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum
mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan,
“Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari
ketenaran.”
Ibnul Mubarok mengatakan bahwa
Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
“Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.”
Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih.
Imam Ahmad mengatakan,
“Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah
mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada
siapa-siapa.”
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah
Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb
(penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,
“Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati
seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)”
Basyr bin Al Harits Al Hafiy
mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali
berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari.
Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.”
Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di
akhirat adalah orang yang ingin tenar.”
Ibrohim bin Ad-ham mengatakan,
“Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut
orang.”
Cobalah lihat bagaimana ulama
salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan
mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber
air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu
orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun
akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan
air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun
mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang
terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok
lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah
3.
Merasa diri penuh kekurangan dalam beramal
Inilah juga di
antara tanda ikhlas yaitu merasa diri serba kekurangan ketika menunaikan
kewajiban-kewajiban. Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk
menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan
tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang
disebutkan dalam firman Allah,
وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun:
60)
‘Aisyah mengatakan,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ)
أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ
يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ
يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ».
Artinya : “Wahai Rasulullah! Apakah yang
dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina,
mencuri dan meminum khomr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)!
Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang
shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.”
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diterimanya suatu amalan berkaitan dengan melakukan
sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Setiap orang yang bertakwa pada Allah
ketika ia beramal, maka ia akan melakukan sebagaimana yang diperintahkan. Akan
tetapi ia tidak bisa memastikan sendiri bahwa amalan yang ia lakukan diterima
di sisi Allah karena ia tidak bisa memastikan bahwa amalan yang ia lakukan
sudah sempurna.” Itulah yang membuat para salaf begitu khawatir dengan tidak
diterimanya amalan mereka karena mereka sendiri tidak bisa memastikan
sempurnanya amalan mereka.
Itulah mereka –para salaf- yang
merasa diri mereka serba kekurangan dalam amalannya. Lihatlah
perkataan-perkataan para salaf berikut ini.
Al Fudhail bin ‘Iyadh
mengatakan, “Jika ada yang mengetahui orang yang tidak ikhlas (orang yang
riya’), maka lihatlah pada diriku.”
Daud Ath Tho-i mengatakan, “Jika
manusia mengetahui sebagian kejelekanku, tentu lisan manusia tidak akan pernah
lagi menyebutkan kebaikanku.”
Ibnul Mubarok mengatakan,
أَحَبُّ
الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَأَبْغَضُ الطَّالِحِيْنَ وَأَنَا شَرٌّ
مِنْهُمْ
Artinya : “Aku menyukai orang-orang sholih.
Akan tetapi, aku bukan termasuk mereka. Aku membenci orang-orang tholih (yang
suka maksiat, pen). Sedangkan aku sebenarnya lebih jelek dari mereka.”
Al Hasan Al Bashri sering
mencela dirinya sendiri sambil mengatakan, “Diri ini sering mengucapkan
perkataan orang-orang sholih, orang yang taat dan ahli ibadah. Namun diri ini
sering melakukan kefasikan dan perbuatan riya’. Ini sungguh bukan perbuatan
orang-orang yang ikhlas.”
Itulah contoh para salaf yang
senantiasa mencela diri mereka dan merasa diri mereka memiliki kekurangan dalam
beramal.
4.
Menganggap Sama Pujian dan Celaan
Di antara tanda
ikhlas adalah menggap sama antara pujian dan celaan. Dengan adanya pujian tidak
menjadikan dirinya bangga dan adanya celaan pun tidak menyurutkan semangatnya
untuk beramal. Tanda ikhlas seperti inilah yang dituntut saat beramal dan
berdakwah.
Perintah untuk ikhlas disebutkan dalam ayat,
وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya:
ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”
(QS. Al Bayyinah: 5).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah
dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,
قَالَ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Artinya : “Allah Tabaroka wa Ta’ala
berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik.
Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).
E. KEWAJIBAN
IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU
Firman Allah Taala,
Artinya :
" .. Sesiapa yang percaya dan
berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal
yang salih dan janganlah ia mempersekutukan sesiapa pun dalam ibadatnya kepada
Tuhannya." (110, Surah Al-Kahf)
" .. hendaklah engkau
menyembah Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya segala ibadat dan
bawaan mu." (2, Surah Al-Zumar).
Hadis Ketiga Puluh Tiga
33- عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا
يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ
الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (أبو داود وابن ماجه)
33- Dari Abu Hurairah, r.a., dari
Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa
yang mempelajari sesuatu ilmu dari jenis-jenis ilmu yang tujuannya untuk
mencapai keredhaan Allah, sedang ia tidak mempelajarinya melainkan untuk
mendapat sesuatu bahagian dari dunia (harta benda atau
pengaruh), nescaya ia tidak akan dapat mencium bau syurga, pada hari
qiamat kelak."
( Abu Daud dan Ibnu Majah)
Hadis yang ketiga puluh tiga ini
menerangkan:
Orang yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan mendapat
habuan dunia, buruk padahnya.
Huraiannya:
Tiap-tiap perbuatan adalah
dinilai menurut tujuan orang yang melakukannya. Sesuatu perkara yang
dilakukan oleh dua orang dengan tujuan yang berlainan, maka berlainan pula
nilainya, kerana tujuanlah yang mendorong seseorang melakukan sesuatu
perbuatan itu.
Ilmu agama - sebagaimana
yang sedia diketahui - adalah dan Allah, untuk menjalankan
perintah-perintah Allah dan beramal kerana Allah.
Oleh itu, seseorang
penuntut ilmu agama hendaklah membersihkan hatinya supaya ilmu dan
amal yang diusahakannya sungguh-sungguh kerana Allah, bukan kerana
kepentingan dunia.
Dalam hadis ini,
Rasulullah s.a.w. menegaskan: Bahawa orang yang menuntut ilmu agama
untuk mendapat habuan dunia semata-mata, maka ia bukan sahaja tidak
memasuki syurga bahkan tidak dapat mencium baunya, kerana orang yang
demikian telah menyelewengkan agama Allah dan telah
menjualnya dengan habuan-habuan
dunia. Oleh itu sudah selayaknya ia menerima balasan yang
seburuk-buruknya.
Dalam pada itu,
janji balas buruk yang tersebut dalam hadis ini, tidak
ditimpakan kepada orang yang menuntut ilmu agama dengan ikhlas, kemudian
ia beroleh habuan dunia sebagai nikmat pemberian yang
disegerakan Tuhan kepadanya, maka orang yang demikian tidak dikeji oleh
syarak,
kerana ia tidak menyelewengkan
agama Allah dan tujuannya yang sebenar.
Mengenai hal ini,
Imam Ghazali dan alim ulamak yang lain telah membahagikan
penuntut-penuntut ilmu kepada tiga bahagian:
Pertama - Orang yang menuntut
ilmu kerana Allah dan untuk keselamatannya pada hari akhirat, maka ia adalah
dari orang-orang yang berjaya!
Kedua - Orang yang menuntut
ilmu untuk mendapat kemuliaan, kebesaran dan harta kekayaan,
dalam pada itu ia menyedari akan tujuannya yang buruk itu. Orang
yang demikian, jika ia bertaubat dan menyelamatkan dirinya dan
perbuatannya yang salah itu maka ia akan termasuklah dalam
golongan orang-orang yang berjaya, kerana
orang yang bertaubat dari dosanya akan menjadilah ia
sama seperti orang yang tidak berdosa; dan jika ia
mati sebelum bertaubat, adalah ditakuti ia akan mati dalam
keadaan Su' al-Khatimah", semoga Allah melindungi kita daripada keadaan yang
demikian dan dari segala yang membawa kepada "kesudahan yang buruk"
itu.
Ketiga - Orang yang menuntut
ilmu dengan tujuan mendapat harta kekayaan dan
pangkat kebesaran, dengan menyangka bahawa ia mempunyai
kedudukan yang mulia di sisi Allah, kerana ia berlagak seperti
alim ulama pada pakaian dan tutur katanya; maka orang yang demikian
adalah dari golongan yang binasa, kerana ia dihalangi dari bertaubat oleh
sangkaannya bahawa ia berada di atas jalan yang benar.
Pendeknya orang yang menuntut
ilmu dikehendaki menentukan niat dan tujuannya pada tiap-tiap masalah
secara khusus satu persatu, atau secara umum - bahawa ia mempelajari
ilmu itu ialah untuk menunaikan fardu ain" yang ditanggungnya untuk
kewajipan dirinya sendiri, dan yang lebih dan itu hendaklah diniatkan
untuk disampaikan kepada orang ramai sebagai "fardu
kifayah"; dan janganlah diniatkan sebagai perkara "sunat" kerana
pahala "perkara yang difardukan" adalah
lebih besar dari itu.
Demikian juga hendaklah ia
menentukan niat dan tujuannya dengan ilmu yang diajarkannya itu akan
dapat mencapai jalan yang menyampaikan faedahnya kepada segala
lapisan masyarakat, dengan perantaraan murid-muridnya dan murid-murid
kepada murid-muridnya, meliputi ilmu dan amal yang terus menerus hingga hari
qiamat.
Demikian juga hendaklah ia
menentukan niat dan tujuannya untuk menyekat dirinya dari melakukan
maksiat dengan berlaku taat kepada Allah dan juga
menyekat dirinya dari perkara-perkara yang sia-sia dan merugikan.
Menurut Imam Al-Qarafi,
bahawa sesiapa yang mengajarkan ilmu kepada orang ramai dengan tujuan
hendak menjadi orang yang masyhur dan terpuji, maka perbuatannya yang
demikian menjadi sebab untuk ia dipulaukan dan tidak diambil ilmu yang
disampaikannya.
Hadis Ketiga Puluh Empat
34- عَنْ كَعْبِ بْنِ
مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ
بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ النَّارَ. (الترمذي وابن ماجه)
34 - Dari Ka'ab bin Malik ra., dari
Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa
yang menuntut ilmu, dengan tujuan bermegah-megah menandingi
alim ulama dengan ilmunya itu, atau dengan tujuan bertengkar dan
bertegang urat dengan orang-orang yang jahil dengan ilmunya itu, atau pun
dengan tujuan menarik dengan ilmunya itu perhatian orang ramai memujinya,
nescaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. "
(Tirmizi
dan Ibnu Majah)
Hadis yang ketiga puluh empat ini mengingatkan:
Penuntut-penuntut ilmu supaya jangan bertujuan
selain dari mentaati Allah serta mendapat keredhaan-Nya.
Huraiannya:
Dalam hadis ini,
Rasulullah s.a.w. menyatakan bahawa tiga perkara yang tidak sepatutnya
dijadikan tujuan bagi menuntut ilmu agama:
1 -
Bermegah-megah menandingi alim ulama.
2 - Bertengkar dengan
orang-orang jahil.
3 -
Mendapat pujian orang ramai.
Sesiapa yang
menjadikan salah satu dan tiga perkara yang tersebut sebagai tujuannya
dalam mempelajari ilmu agama, maka amatlah buruk balasannya, kerana
sikap dan tujuannya yang demikian bukan sahaja merosakkan dirinya sendiri
bahkan juga membawa kerosakan kepada agama Allah yang dibawa
oleh RasulNya.
Kejadian yang demikian dapat
disaksikan di mana-mana; ada di antara orang-orang yang mempelajari ilmu
agama tetapi perbuatannya memburukkan Islam. Ada pula yang tidak beramal
menurut ilmu dan ajaran Islam yang dipelajarinya, kerana
amal bakti itu bukan menjadi tujuannya; pada hal tujuan yang
tunggal bagi menuntut ilmu agama itu ialah untuk mencapai keredhaan Allah Taala
dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya.
Hadis Ketiga Puluh Lima
35- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ
فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا
قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ
لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ
حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ
الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ
فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ
قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ
الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا
قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ
يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ
فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. (مسلم والترمذي والنسائي)
35 - Dari Abu Hurairah, r.a., dari
Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya
di antara manusia yang mula-mula dibicarakan dan dihukum pada hari qiamat
ialah: Pertama, orang yang gugur syahid - ia dibawa mengadap, maka
Allah menyatakan kepadanya satu persatu nikmat-nikmatNya (yang telah
diberikan kepadanya semasa hidupnya) lalu ia mengakui menerimanya;
Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah itu) maka apa engkau telah
lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab: "Aku
berperang kerana mematuhi perintahMu sehingga aku gugur syahid";
Allah Taala berfirman: "Engkau berdusta! (bukan itu tujuan mu), akan
tetapi engkau berperang supaya orang mengatakan: Engkau berani dan
telahpun dikatakan yang demikian". Kemudian ia dihukum lalu diseret dengan
tertiarap, sehingga ia dihumbankan ke dalam neraka. Dan kedua, orang yang
mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an - ia dibawa
mengadap, maka Allah menyatakan kepadanya nikmat-nikmatNya satu persatu, lalu
ia mengakui menerimanya; Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah
itu) maka apa engkau telah lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia
menjawab: Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta
membaca Al-Qur'an kerana mengharapkan keredhananmu"; Allah Taala
berfirman: "Engkau berdusta! (Bukan itu tujuanmu), akan tetapi engkau
mempelajari ilmu supaya orang mengatakan engkau alim dan engkau membaca
Al-Qur'an supaya orang mengatakan: Si anu seorang qari, maka telahpun
dikatakan yang demikian". Kemudian ia dihukum lalu diseret dengan
tertiarap, sehingga ia dihumbankan ke dalam neraka. Dan ketiga, orang
yang telah dimewahkan Allah hidupnya serta diberinya sebahagian dari
segala jenis harta benda kekayaan - ia dibawa mengadap, maka Allah
menyatakan kepadanya nikmat nikmatNya satu persatu, lalu ia mengakui
menerimanya; Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah itu) maka apa engkau
telah lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab: "Aku tidak
tinggalkan satu jalan pun di antara jalan-jalan yang engkau
suka dibelanjakan kekayaan itu padanya melainkan aku belanjakan
padanya, kerana mengharapkan rahmatMu"; Allah Taala berfirman:
"Engkau berdusta! (Bukan itu tujuanmu), akan tetapi engkau belanjakan
harta kekayaanmu supaya orang mengatakan: Si anu itu seorang
dermawan, - maka telah pun dikatakan yang demikian". Kemudian ia
dihukum lalu diseret dengan tertiarap; akhirnya ia dihumbankan ke dalam
neraka."
(Muslim,
Tirmizi dan An-Nasa'i).
Hadis yang ketiga puluh lima ini
menerangkan:
Akibat buruk yang ditimpakan kepada
orang-orang yang menyalahgunakan nikmat-nikmat pemberian Allah kepadanya.
Huraiannya:
Nikmat-nikmat Allah yang
dikurniakannya kepada umat manusia amatlah banyak, tidak terhitung.
Nikmat-nikmat pemberian itu meliputi tiga bahagian besar dalam
alam kehidupan ini - jasmani, rohani dan kebendaan.
Dalam hadis ini,
Rasulullah s.a.w. menerangkan perihal tiga jenis manusia, masing-masing
mendapat salah satu dari jenis-jenis nikmat yang tersebut, iaitu
nikmat jasmani seperti kesihatan dan kekuatan tubuh badan; nikmat rohani
seperti ilmu pengetahuan dan amal ibadat; dan nikmat
kebendaan seperti wang ringgit dan hasil mahsul.
Setelah disoal dan dibicarakan
pada hari qiamat, mereka didapati bukan sahaja tidak bersyukur akan
nikmat-nikmat pemberian Allah itu bahkan mereka telah menyalahgunakannya dengan
tujuan mendapat nama dan dipuji orang semata-mata. Oleh yang demikian berhaklah
mereka ditimpa azab seksa yang diterangkan itu.
Hadis Ketiga Puluh Enam
36- عَنْ أَبِي سَعْدِ
بْنِ أَبِي فَضَالَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا جَمَعَ اللَّهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ
لَا رَيْبَ فِيهِ نَادَى مُنَادٍ مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ
أَحَدًا فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ
أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ. (الترمذي)
36- Dari Abu Sa'id bin Abi Fadhalah ra., dari
Nabi s.a.w., sabdanya: "Apabila
Allah Taala menghimpunkan manusia pada hari qiamat pada hari yang
tidak ada sebarang syak tentang tetap berlakunya, - (pada
hari itu) menyerulah malaikat penyeru: "Sesiapa mempersekutukan
(Allah dengan) mana-mana makhluk dalam sebarang amal yang dikerjakannya
kerana Allah, maka hendaklah ia meminta pahalanya daripada yang lain
dan Allah, kerana sesungguhnya Allah Taala tidak menerima
sama sekali akan sebarang amal yang dipersekutukan Dia dengan
makhluk yang lain."
(Tirmizi)
Hadis yang ketiga puluh enam ini
menerangkan tentang:
(1) Peristiwa berhimpun di padang Mahsyar.
(2) Keputusan perbicaraan masing-masing akan dihebahkan dalam
perhimpunan itu.
Huraiannya:
Di antara peristiwa-peristiwa
yang akan ditempuh oleh setiap orang pada hari qiamat kelak ialah peristiwa
berhimpun di padang Mahsyar. Susah senang atau berat ringannya
kesusahan yang akan dirasai di situ adalah bergantung kepada amal
masing-masing.
Setelah puas menunggu,
masing-masing pun dibicarakan, dihisab dan ditimbang amalnya, kemudian
diisytiharkan keputusan perbicaraan itu.
Dalam hadis ini,
Rasulullah s.a.w., menerangkan: Bahawa pada saat itu malaikat akan
menghebahkan kepada umum: Sesiapa yang melakukan syirik -
mempersekutukan mana-mana makhluk dengan Allah dalam amalnya, hendaklah ia
meminta balasannya kepada makhluk itu, kerana Allah Taala tidak menerima
sama sekali akan sebarang amalan syirik.
Pada ketika itu orang-orang
yang bersalah akan menyesal, tetapi sesal kemudian
tidak ada gunanya. Maka wajiblah dibersihkan segala amalan dari
tujuan yang lain daripada mengharapkan keredhaan Allah.
Hadis Ketiga Puluh Tujuh
37-
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ
وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ. (أبو داود والنسائي)
37- Dari Abu Umamah r.a., katanya: "Seorang lelaki telah
datang mengadap Rasulullah s.a.w., lalu bertanya: "Ya
Rasulullah! Bagaimana hukum seseorang yang pergi berperang untuk
mencari pahala dan nama yang terpuji, apa yang akan didapatinya?"
Maka Rasulullah s.a.w. (menyatakan kepadanya dengan) bersabda: "Orang itu
tidak beroleh sebarang pahala"; Si penanya mengulangi pertanyaannya tiga
kali dan Rasulullah s.a.w. pula tetap menjawab: "Orang itu tidak
beroleh sebarang pahala"; akhirnya Baginda bersabda: "Sesungguhnya
Allah `Azza wa Jalla tidak menerima sebarang amal melainkan yang
dikerjakan untukNya semata-mata dan dengan tujuan untuk
mendapat keredhaanNya."
( Abu
Daud dan An-Nasa'i)
Hadis yang ketiga puluh tujuh ini
menerangkan bahawa:
Sebarang amal yang dikerjakan bukan kerana Allah,
tidak ada nilainya di sisi Allah.
Huraiannya:
Sesuatu amal
yang dikerjakan, walau seberapa besar dan tinggi nilainya pada
anggapan manusia, belum tentu ada nilainya di sisi Allah untuk
mendapat balasan pahala pada hari akhirat kelak.
Dalam hadis ini, Rasulullah
s.a.w. menyatakan hukum perkara itu kepada orang yang bertanya mengenai
seseorang yang berjuang di medan perang dengan tujuan untuk mendapat
pahala dan nama yang terpuji sebagai pahlawan yang gagah berani;
Baginda menyatakan bahawa orang itu tidak beroleh sebarang pahala.
Baginda menegaskan jawapannya itu sebanyak tiga kali, sambil
menerangkan sebabnya amal itu yang pada zahirnya dipandang
tinggi nilainya tetapi pada hakikatnya tidak mendapat sebarang pahala
kerana ia dikerjakan bukan kerana Allah semata-mata, sedang Allah Subhanahu wa
Taala tidak menerima melainkan amal bakti yang dikerjakan dengan
ikhlas kepadaNya.
F.
PENGARUH
IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU
Keikhlasan
dalam menuntut ilmu akan memberikan pengaruh kepada pribadi orang tersebut yang
dapat dirasakan oleh orang yang berada di sekitarnya. Di antara pengaruh ikhlas
dalam menuntut ilmu adalah sebagai berikut :
1- Membuahkan
ilmu yang bermanfaat
Tanda paling jelas yang
menunjukkan bahwa seseorang memiliki niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah
ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ
مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ
أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ
وَالعُشْبَ الكَثِيرَ
Artinya : “Permisalan petunjuk dan ilmu yang
Allah utus diriku dengan membawa keduanya sebagaimana permisalan hujan lebat
yang membasahi bumi. Diantara tanah yang diguyur air hujan, ada tanah yang
subur, yang menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan
yang lebat” (HR. Bukhari)
Seperti itulah perumpamaan ilmu
yang bermanfaat bagi seorang hamba. Ilmu tersebut akan memberikan manfaat
kepada pemiliknya khususnya, dengan membuat hatinya semakin lembut, jiwanya semakin
tunduk kepada Rabb-nya, lisan dan pandangannya semakin terjaga, dan seterusnya.
Tidak hanya itu, manfaat ilmunya juga meluas kepada orang-orang di sekitarnya
dengan akhlaknya yang semakin mulia serta ilmu yang telah ia raih ia ajarkan
kepada orang-orang di sekelilingnya.
Inilah tanda yang pertama yang
menjadi poros bagi tanda-tanda lainnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya.
2- Mengamalkan
ilmu
Ilmu dicari untuk diamalkan.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala akan bertanya kepada semua orang yang
telah belajar, apa yang telah mereka amalkan dari ilmu yang ia miliki?
لَا
تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ … وَعَنْ عِلْمِهِ
فِيمَ فَعَلَ
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki hamba
di hari kiamat sampai ia ditanya,(salah satunya) tentang ilmunya, apa yang
sudah dia amalkan?” (HR. Tirmidzi, beliau nilai hasan shahih. Dan
dinliai shahih oleh Al Albani)
Ketika seseorang memiliki niat
yang ikhlas dalam menuntut ilmu, maka ia akan mengerti bahwa ilmu yang ia cari
bukanlah tujuan akhir, tetapi bekal dia untuk beramal sehingga ia akan berusaha
mengamalkan setiap ilmu yang ia miliki. Adapun orang yang niatnya rusak, maka
mengamalkan ilmu bukanlah tujuan yang hendak ia capai. Oleh karena itu,
Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak
dianggap berilmu selama ia tidak mengamalkan ilmunya” (Iqtidhaa-ul
‘Ilmi Al ‘Amal hal. 18, dinukil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal,
hal. 45)
3- Terus
memperbaiki niat
Orang yang merasa telah ikhlas
dalam menuntut ilmu merupakan ciri tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu.
Orang yang ikhlas justru terus memperbaiki dirinya dan meluruskan niatnya dalam
setiap amalannya dan tidak merasa dirinya telah ikhlas. Sebagaimana yang
dikatakan ‘Amr, “Barangsiapa yang mengatakan dirinya adalah orang yang
berilmu, maka dia adalah orang yang bodoh”. Ibnu Rajab mengatakan, “Orang
yang jujur akan merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan dan takut mengalami
su-ul khatimah” (lihat Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal.
30-31)
4- Semakin tunduk dan takut
kepada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya : “Sesungguhnya yang yang takut
kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang yang berilmu” (QS.
Fathir : 28)
Pada ayat di atas Allah
menyebutkan bahwa orang yang takut kepada-Nya adalah orang yang berilmu. Oleh
karena itu, semakin bertambah ilmu seseorang, semakin tunduk ia kepada
Rabb-nya.Sebagian ulama mengatakan, “Siapa yang takut kepada Allah maka dia
adalah orang yang berilmu. Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah maka dia
adalah orang yang bodoh” (dinukil dari Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal
Khalaf hal. 26).
Ini adalah buah dari ilmu yang
bermanfaat, ilmu yang dicari semata-mata karena mengharap wajah-Nya. Seseorang
yang telah berilmu tentang Allah, maka ia akan mengetahui keagungan dan
kebesaran Rabb-nya sehingga ia akan semakin takut dan tunduk kepada-Nya serta
selalu merasa diawasi oleh-Nya.
5- Membenci
pujian dan ketenaran
Senang dipuji dan cinta
ketenaran adalah awal malapetaka pada diri seorang penuntut ilmu. Tidakkah kita
ingat kisah tiga orang yang pertama kali diseret ke dalam neraka? Rasulullah
menyebutkan salah satu diantara mereka,
وَرَجُلٌ
تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ
نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ
الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ،
وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ
لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Artinya : “Seseorang yang menuntut ilmu,
mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Lalu ia didatangkan dan dipaparkan
kepadanya segala nikmat yang telah ia raih, lantas ia mengakuinya. Lalu ia
ditanya, “Apa yang sudah kamu lakukan terhadap nikmat tersebut?”. Ia menjawab,
“Aku menuntut ilmu juga mengajarkannya, aku juga membaca Al Qur’an karena-Mu”.
Lalu dikatakan padanya, “Kamu dusta! Kamu itu menuntut ilmu supaya dijuluki
sebagai orang yang berilmu! Kamu juga membaca Al Qur’an karena ingin dikenal
sebagai qari! Dan kamu pun telah mendapatkannya!”. Lalu orang tadi diseret di
atas wajahnya lalu dilempar ke neraka” (HR. Muslim)
6- Semakin tawadhu’ di
hadapan manusia
Bagai ilmu padi, ilmu yang
bermanfaat yang dicari semata-mata mengharap wajah Allah Ta’ala akan
membuat pemiliknya semakin tawadhu’ di hadapan orang lain, tidak
merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Ibnu Rajab mengatakan, “Di
antara tanda orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat adalah ia tidak memandang
dirinya memiliki status atau kedudukan khusus. Hatinya membenci rekomendasi dan
sanjungan orang. Ia juga tidak takabbur di hadapan orang lain” (Fadhlu
‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 31
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarat
diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas sebagaimana diterangkan dalam ayat Al
Qur'an (QS. Az Zumar: 65)," Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan
hapuslah amalmu." Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang
tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang
riya’ atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya setan. Syaitan
berkata,” Ya Tuhanku, oleh karena Engkau telah menetapkanku sesat, sungguh akan
kuusahakan agar anak manusia memandang indah segala yang tampak di bumi dan aku
akan sesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hambaMu dari antara mereka yang
ikhlas (Al-Hijr: 39-40). Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan memberikan
pengaruh kepada pribadi orang tersebut yang dapat dirasakan oleh orang yang
berada di sekitarnya. Di antara pengaruh ikhlas dalam menuntut ilmu adalah
sebagai berikut :
1- Membuahkan
ilmu yang bermanfaat
2- Mengamalkan
ilmu
3- Terus
memperbaiki niat
4-
Semakin tunduk dan takut kepada Allah Ta’ala
5- Membenci
pujian dan ketenaran
6- Semakin
tawadhu’ di hadapan manusia
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan
beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras.
Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih
kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah
keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala
pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya
akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu
kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia
mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah,
mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia,
tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran.
B.
Saran
Demi
perbaikan mutu pembuatan makalah dikemudian hari maka kami sebagai penulis
berharap berbagai kritik serta saran dari seluruh pembaca yang bersifat
membangun dan bisa memotivasi mahasiswa supaya mengetahui cara berakhlak kepada
Allah dengan cara ikhlas dalam menuntut ilmu, agar tercapai kebahagiaan dunia
akhirat