MATAHARI pagi
itu menyilaukan mata dengan pendarnya yang keemasan ketika Rani mengutarakan
niatnya untuk memohon izin kepada ibu. Entah angina apa yang sempat menyenggol
bahunya sehingga ia bersih keras untuk pergi berbelanja keperluan untuk jualan
di kios yang sudah habis, sendirian. Tentunya ibu tak akan membiarkannya
berjalan sendiri menyusuri celah-celah sempit nan ramai Kota Daeng.
“ Tapi,Rani…Kamu kan…”
“Baru sembuh maksud, Ibu? Tenang
Bu, Rani tidak apa-apa. Puang juga dulu tidak pernah larang-larang Rani untuk
pergi kepasar.”
“Iya, tapi itu dulu. Sekarang
kan, beda.”
“ Sudahlah, Ibu. Rani baik-baik
saja. Rani juga akan pulang cepat.”
“Tapi. Rani.”
“Sudahlah, Ibu…Biarmi.”
“Rani..”
Rani tersenyum pelan. Matanya
yang sayup semakin sayu diterpa cahaya lampu ruang tamu yang lupa dipadamkan.
Setelah mendapatkan anggukan terpaksa dari ibu, Rani secepatnya mengambil tas
belanja di atas sofa tua yang mulai menguning warnaynya.
“Rani, Hati-hati!” ibu menghelat
nafas lamat-lamat. Diteriakinya Rani dari balik pintu. Suara paraunya sudah
lebih dari jelas untuk menerangkan apa dan bagaimana cekikan hatinya saat ini.
“Iya Ibu!” Teriak Rani balik
sambil menaiki becak langganan ibu tiap minggunya.
Ibu masih menatap jalan yang
mulai kering akibat hujan semalam. Mana tega ia membiarkan Rani sendirian ke
pasar? Seandainya keadaan tidak semenyedihkan ini, Pastinya ranilah yang
diperintanhnya untuk kepasar tiap pecan.
Toh badannya juga semakin menua tiap hari, belum lagi matanya mulai rabun.
Sedangkan Rani? Dia masih kuat . Umurnya juga baru kepala lima. Tentunya dia
akan lebih kuat mengangkat belanjaan disbanding Ibu.
Namun adahal yang selalu
menjadikannya pengecualian. Tadi selepas shalat subh ibu tak hentinya
beristigfar. Suara paraunya terdengar jelas sampai-sampai Rani yang saat itu
sedang menanak nasi bersegera mungkin. Melihat keadaan ibu takut kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tak diiinginkan. Namn, saat dilihatnya Ibu hanya duduk
sambil menggilir tasbih satu per satu di sela jarinya. Melihat keadaan demikian,
Rani tak berpikir panjang dan langsung
kembali ke dapur untuk menunggui nasi yang sebentar lagi masak tanpa tahu bahwa
semalam ibu bangun tiba-tiba dari tidurnya dengan cucuran keringat dingin yang
membasahi hamper seluruh permukaan bantal.
Ibu bermimpi. Puang semalam
dating melewat dan meminta Ibu untuk ikut dengannya. Namun, dengan segala
kekuatan yan g dimilikinya, ibu melepaskan genggaman tangan puang yang tidak mudah
untuk dilerai. Puang, memaksa namun ibu tetap tak mau. Sampai akhirnya puang mengancam
jika ibu tak mau ikut maka Puang akan mengambil Rani untuk pergi bersamanya,
secepatnya. Ibu yang pada saat itu berada dalam satu dilemma, bimbang tak
karuan, langsung saja berteriak histeris. Sedetik kemudian ibu lalu terbangun
dari mimpi buruknya itu.
Benar, saja ia keringatan
setengah mati. Sesegara mungkin ia berjalan perlahan menuju kamar Rani untuk
memastikan tidak ada sesuatu yang terjadi yang menimpa Rani. Beruntungnnya,
malam itu Rani tertidur dengan pulasnya sambil memeluk guling biru dengan berselimut sarung batik penginggalan
Puang. Ibu megelus dada. Namun, tanpa sepengetahuannya, keberuntunga ibu hanya
dimiliki Rani untuk malam ini.
Jadi jika ada yang bertanya Rani
itu kenapa? Seantero pasar sudah tahu apa jawabannya. Itulah sebabnya mengapa
sedri tadi para penghuni pasar tak hentinya mengalihkan pandangan dari sosok
seorang rani. Dengan ekspresi yang berbeda-beda, mereka senyum pelan.
Pemandangan demikian sudah pasti akan didapatkannya. Oleh karena itu, sebelum
ia berangkat tadi pukul tujuh, ia sudah menguatkan niatnya. Tak boleh ada
tangisan.
Setelah mengankat belanjaan
keatas becak, rani kemudian pamit dan berterimah kasih kepada pelanggang
grosirnya yang terkahir ditempati belanja. Daeng tukang becak yang umurnya juga
sudah semakin tua kemudian mengayuh becaknya dengan perlahan, sementara rani
sudah duduk manis didudukan becaknya dengan dipenuhi tumpukan barang belanjaan.
Setengah, perjalanan tiba-tiba
saja rani teringat sesuatu. Sudah berapa tahun ini tak pernah menziarahi makam
suaminya, Wildan. Semenjak kejadian tragis yang menyimpahnya itu. Rani tak
pernah lagi memikirkan wildan. Jadi jangankan untuk berziarah menyebut namanya
saj mungkin tak pernah lagi beberapa tahun terakhir ini. Bukannya Rani sudah
tak saying, bukannya cinta yang ada dihatinya juga sudah ikut terkubur, namun
keadaan yang mengahurskannya ikut terbelenggu dalam lingkaran keadaan
semenyedihkan ini.
“Daeng, kita ke TPU samping
masjid AL-MARKAS dulu!” Perintah rani setelah hampur lima menit balut dalam
kisah suram diatas becak. Ya, begitu menggemaskan.
Sang daeng tukang becak kemudian
memutar balik becak tuanya. Rani memegang erat tangannya. Wildan, beberapa
tahun? Ya, lebih dari dua puluh delapan!
Rani melangkahkan kakinya
mamsuki gerbang pemakaman Islam yang cukup teduh itu. Pohon beringin besar
bambu-bambu yang tinggi, menjulang beberapa pohon pisang yang mulai bertunas
juga tumbuh didalamnya. Tak membutuhkan waktu yang kama untuk menemukan pusara
Wildan. Tepat dibawah pohon mangga yang bunganya sedang giat untuk berjatuhan
perlahan, rani menelungkupkan lututnya . Makam itu masih terawatt. Pasti
pengurus pemakan tak pernah letih untuk membersihkan seluruh areal makan yang
tak sempit ini.
Tiga puluh menit lewat lima
sekon. Rani kemudian beranjak berdiri meninggalkan pusara seorang yang sempat
menjadi pendamping hidupnya tersebut setelah sempat mengirimkan ayat kursi dan
doa untuknya. Dengan tatapan kosong, dilangkahkannya kakinya yang tida-tiba
lemas. Ia terus melangkahkan melewati serangkaian makam-makam yang lain.
Kekosongan mendalam.
Dan kekosongan itulah ang
membawa ketidak beruntungannya pada pagi menjelang siang ini. Rani tak sadar
telah melewati gerbang makanm. Sampai ketika ia akan menyeberang , ia tidak
melihat ketika tiba-tiba saja sebuah susuki Ertiga hitam melaju dengan amat
kencang. Penumpanh yang ada di dalamnya histeris ke takutan. REM BLONG.!
Baru saja rani akan mundur
kebelakang untuk menghindar, mobil itu tanpa rem-karena remnya memang
blong-langsung saja menyandarkan plat depannya
tepat tubuh Rani. Rani memejamkan mata, menatap sekelabat. Pandangannya kabur .
daeng tukang becak yang melihatnya hanya mengungkapkan bibirnya selebar
mungkin. KAGET!
Sedetik,dua detik, darah mulai
bercucuran di atas jalanan. Rani yang tergeletak di aspal kehilangan kesadaran.
Matanya sayu, kemudian semua yang dilihatnya menjadi rona hitam tanpa batas.
Bulan itu bulan juni, bulan
dimana Wildan juga diperintahkan untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu
yang telah ia lakukan di dunia.
SUMBER REFERENSI
Muhammad Nahdiyati Nur.2015.nada di setiap denyut nadimu.yogyakarta;the phinis press yogyakarta.