Teori Globalisasi

Globalisasi adalah sebuah istilah yang dikenal pertama kali oleh wartawan Theodore Levitt pada tahun 1980-an. Istilah tersebut sampai sekarang masih terus diperdebatkan di kalangan akademis dan dunia pemerintahan, baik nasional maupun internasional. 

Teori Globalisasi
Kendati ada berbagai versi teori globalisasi, terdapat kecenderungan di hampir semua teori tersebut untuk menjaga jarak dramatis dari fokus di Barat dan menelaah tidak hanya proses-proses tradisional yang mengalir ke berbagai penjuru, namun juga dapat batas-batas tertentu, yang otonom dan independen dari bangsa atau wilayah perang (Appadurai, 1996). Menurut George Ritzer, globalisasi dapat dianalisis secara budaya, ekonomis, politis, dan/atau institusional. Pada masing-masing kasus, perbedaan utamanya dalah apakah orang melihat semakin besarnya homogenitas atau heterogenitas. Kecenderungan kearah homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imerialisme internasional dari kebudayaan tertentu. Ada berbagai imperialisme budaya termasuk yang menekankan peran kebudayaan Amerika (Kuisel, 1993; Ritzer, 199, 2000), Barat (Giddens,1990), atau negara-negara inti (Hannerz,1990). Namin Robertson (1992) menentan gagasan ini, meskipun ia tidak menggunakan istilahnya imperialisme budaya, melalui konsepnya yang terkenal dengan istilah globalisasi. Konsep globalisasi ini melihat yang global berinterkasi dengan yang lokal untuk menghasilkan sesuatu yang khas sifatnya, yaitu glokal. Pandangan yang menegaskan heterogenitas budaya seperti itu tidak hanya dari Robertson, beberapa orang lainmenegaskan hal yang sama termasuk Garcia Cancilini (1995) dan Pieterse (1995). Yang dalam kategori umum ini adalah karya sarjana seperti Friedman (1994), yang menggambarkan dunia yang dicirikan oleh pasticbe budaya. 

Pemikiran ilmu sosial yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomi, seperti DR Mansour Fakih di  atas, cenderung menitikberatkan faktor ekonomi dan efek homogenesis faktor-faktor tersebut bagi dunia. Pada umumnya mereka melihat globalisasi sebagai menyebarnya ekonomi pasar ke berbagai kawasan dunia. Contoh lain pemikir sosial jenis ini adalah George Stiglitz, ekonom pemenang hadia Nobel dan mantan ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Amerika Serikat pada masa Bill Clinton, mengemukakan kritik IMF karena peran mereka dalam memperburuk, ketimbang memperbaiki, krisis ekonomi global. Stigliz memberi argument yang meyakinkan akan pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia PBB,IMF, dan Bank Dunia, juga perjanjian-perjanjian perdagangan internasional dan peraturan tentang kekayaan intelektual supaya lembaga-lembaga itu benar-benar mampu menjawab permasalahan masa kini. Stiglitz mengecam IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya yang tidak sungguh-sungguh berupaya untuk membanti negara-negara miskin agar bisa keluar dari masalahnya dan sebaliknya banya menawarkan solusi "satu untuk semua" yang terbukti gagal menyelesaikan masalah-masalah spesifik dari negara-negara miskin tersebut. 

KonsesnsusWshington, 10 formula yang diracik ekonom John Williamson pada tahun 1987-1988 diadopsi oleh institusi-institusi keuangan terkemuka seperti IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai resep untuk memulihkan kesehatan ekonomi sebuah negara tatkala mengalami kelumpuhan. Hal itu ditolak oleh Stigitz. Ia berpendapat bahwa negara-negara yang patuh mengikuti resep tersebut justru sulit bangkit dari keterpurukan ekonomi. Stiglitz menekankan pentingnya kebiajakn yang lebih terpila-pilah di IMF dan organisasi ekonomi global lainnya. Bentuk heterogenitas lain pada ranah ekonomi antara lain komodifikasi budaya lokal dan adanya spesialisasi yang fleksibel sehingga memungkinkan dihasilkannya beragam produk yang bisa memenuhi kebutuhan bermacam spesifikasi lokal. Lebih umum lagi, mereka yang menekankan heterogenisasi berargumen bahwa interaksi pasar global dengan pasar lokal menyebabkan terciptanya pasar glokal unik yang mengintegrasikan permintaan pasar global dengan realitas pasar lokal. Orientasi politis atau institusional juga menekankan homogenitas atau heterogenitas. Contoh dari mereka yang menggunakan prspektif homogenisasi pada wilayah ini antara lain Meyer et al. (1997), yang berfokus pada penyebaran model negara bangsa keseluruh dunia dan munculnya berbentuk-bentuk pemerintahan sejenis di seluruh dunia. Lebih besar lagi, Keohane dan Nye (1989) memusatkan perhatiannya pada pengaruh global berbagai institusi. Habsbawn and Appadurai melihat tumbuhnya institusi dan organisasi tradisional telah menggerogoti kekuasaan negara bangsa dan struktur sosial lain yang lebih bersifat lokal dalam menciptakan perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Hardt dan Negri dalam bukunya yang berpengaruh besar, Empire, mendiskusikan kemunculan bentuk kedaulatan imperial global baru yang terlepas dari bangsa manapun namun menjalankan kontrol yang semakin kuat terhadap semua bangsa dan orang-orang yang ada di dalamnya. Mereka menitikberatkan pada perkembangan sistem konstitusi supra nasional baru. Salah satu pandangan paling ektrem dalam homogenisasi ranah politik adalah pemikiran Barber(1995) tentang "McWorld," atau tumbuhnya orientasi politik tunggal yang semakin berkuasa di seluruh dunia. Pandangan Barber tentang McWorld tidak terbatas pada politik; ia melihat banyak ranah lain mengikuti model McWorld. Menurutnya, jihad sebagai perspektif alternatif yang melibatkan kekuatan politik lokal,etnis, dan reaksioner (termasuk "negara-negara kuno") yang berdampak pada tebangunnya nasionalisme dan membawa ke arah heterogenitas politik di seluruh dunia. Wujud heterogenitas tersebut antara lain berupa bangunan politik glokal unik yang lahir dari interaksi McWorld dengan Jihad. Bangunan politik tersebut mengintegrasikan elemen-elemen McWorld (misalnya, penggunaan Internet untuk menggalang dukungan) dengan yang Jihad (misalnya, penggunaan gagasan-gagasan dan retorika tradisional). Sekali lagi, teori globalisasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai globalisasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai homogenisasi dan heterogenisasi. 
gambar globalisasi

Akuntansi Keuangan

Laporan Keungan dan Tujuan Akuntansi
Laporan keuangan dan Tujuan akuntansi menurut berbagai sumber dapat kita lihat daripenjelasan di bawah ini. Prinsip akuntansi Indonesia (1984) menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan itu adalah sebagai berikut:
  1. Untuk memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai aktiva dan kewajiban serta modal suatu perusahaan.
  2. Untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya mengenai perubahan dalam aktiva netto (aktiva dikurangi kewajiban) suatu perusahaan yang timbul dari kegiatan usaha dalam rangka memperoleh laba.
  3. Untuk memberikan informasi keuangan yang membantu para pemakai laporan di dalam menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
  4. Untuk memberikan informasi penting lainnya mengenai perubahan dalam aktiva dan kewajiban suatu perusahaan. seperti informasi mengenai aktivas pembiayaan dan investasi.
  5. Untuk mengungkapkan sejauh mungkin informasi lain yang berhubungan dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan pemakai laporan, seperti informasi mengenai kebijakan akuntansi yang dibuat perusahaan.
APB Statement No. 4(AICPA) menggambarkan tujuan laporan keuangan dengan membagi duanya.
Tujuan umum:
"menyajikan laporan posisi keuangan, hasil usaha, dan perubahan posisi keuangan secara wajar sesuai prinsip akuntansi yang diterima"
Tujuan Khusus adalah:
"memberikan informasi tentang kekayaan, kewajiban, kekayaan bersih. proyeksi laba perubahan kekayaan dan kewajiban serta informasi lainnya yang relevan".

akuntansikeuangan.com

Revolusi (Deprivasi Relativ dan Kekerasan)

Apakah sedikit sekali yang kita ketahui tentang sebab-sebab kerusuhan pemberontakan sehingga kita harus menggunakan aksorsisme saat ini, seprti agresif atau konspirasi untuk menjelaskannya? saya pikir  tidak. Orang memberontak terhadap pemimpinnya selama ribuan tahun, dan selama ribuan tahun itu banyak pengamat pintar telah memberikan penjelasan seksama mengenai orang memberontak, baik secara khusus ataupun secara umum. Dalam hal tertentu kita tahu banyak tentang kecenderungan kita terhadap kekerasan. Akumulasi karangan ilmiah dan laporan serta data tentang revolusi ini dan revolusi itu, teori ini dan teori itu, cenderung mengaburkan pandangan kita tentang keseragaman mental dan sosial. Studi ini berusaha mengidentifikasikan dan menyusun sebagian keseragaman itu. Apakah orang secara inheren agresif, atau hanya agresif sehubungan dengan bahwa orang memiliki kemampuan, tetapi bukan kebutuhan akan agresi, dan bukan lainnya tentang pola-pola keadaan sosial tempat orang melaksanakan kemampuan itu secara kolektif. Apakah sebagaian orang belajar menggunakan kekerasan jawabannya jelas ya. Yang kurang jelas adalah mengapa dan bagaimana beberapakelompok menggunakan kekerasan, sedangkan yang lainnya menjauhkan diri darinya yang pasti penggunaan kekuatan publik untuk menghalangi kekerasan perorangan dan sifat organisasi manusia, membedakan bentuk dan tingkat kekerasan. Di sini kita juga akan memahami pola-pola pelaporan dan retorika; penggunaan kekuatan tertentu dan jenis-jenis hubungan antarorang pada umumnya memiliki pengaruh yang dapat diramalkan terhadap kekerasan politik.

Tulisan ini adalah latihan penyederhanaan jenis yang dikenal dengan bangunan teori. Saya akan berusaha menunjukkan keragaman yang lebih penting sebab-sebab kekerasan politik, yang di ambil dari karya semua ilmu pengetahuan manusia. Saya akan berusaha tetap menggambarkan dan mendefinisikan keseragaman ini, bahkan resiko menjelaskan beberapa kebenaran, mutlak dengan dasar bahwa prinsip yang dinyatakan dengan tetap merupakan alat yang lebih baik untuk memahami dari pada analogi yang membosankan. Keseragaman juga didokumentasikan dengan sampel bukti untuknya; pekerjaan labolatorium psokolog eksperimental pekulasi teoritikus besar dan kecil, studi kasus pemberontakan, bukti kompratif mereka yang menghitung tuntutan dan kematian, dan langkah deduksi. Penjelasan tentatif yang muncul dari proses ini masih kompleks, tidak sederhana. Kekerasan, seperti mereka yang menggunaknnya, adalah kompleks tetapi dapatdibaca. Paling tidak didemonstrasikan oleh tulisan ini.

Penjelasan umum kekerasan politik bisa menjadi tuntutan bagi aksi dari pemahaman, meskipun tidak sepenuhnya tepat. Penjelasan tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi, untuk tujuan kebijakan, potensi revolusioner negara tertentu ,dan untuk meramalkan pengaruh berbagai aksi terhadap potensi itu. Teori ini tidak direncanakan untuk aplikasi ini, tetapi banyak karakteristik yang membuatnya cocok bagi penyelidikan ilmiah dan tujuan kebijakan, Teori sosial bisa diperuntukkan cocok bagi penyelidik ilmiah dan tujuan kebijakan. Teori sosial bisa diperuntukkan bagi tujuan etis dan tidak etis. Akan tetapi saya yakin bahwa sejauh studi ini memiliki kegunaan kebijakan, studi tersebut harus lebih memberikan sumabangan untuk meredakan kesengsaraan manusia daripada memperpanjangnya. Ada kecongkakan dalam hal ini. Dampak studi tersebut bisa sangat marjinal, tetapi dunia luas dan dampak "marjinal" dapat mempengaruhi ribuan jiwa manusia.

Tulisan ini bisa dibaca oleh pemberontak ataupun pemimpin dan menyajikan banyak aksi efektif bagi keduanya. Pemberontak seharusnya membacanya, karena menurut tulisan ini menimplikasikan cara-cara pencapaian cita-cita manusia yang lebih efektif dan tidak bersifat merusak bagi mereka sendiri dan orang lain daripada beberapa taktik yang mereka gunakan bsekarang. Tulisan ini pasti akan dibaca oleh orang yang mencari cara mempertahankan ketertiban umum. Mereka akan menemukan sedikit justifikasi pada kepercayaan terhadap taktik kontrol represif. Terdapat banyak bukti dan prinsip bahwa kebijakan represif pada akhirnya mengalahkan tujuannya. Ketertiban umum dipertahankan dengan sangat  efektif -ia hanya dapat dipertahankan-apabila cara-cara diberikan di dalamnya bagi otrang untuk bekerja menuju pencapaian cita-citanya. Ini bukan penilaian etis, atau bukan hanya penilaian etis. Ia mendekati status hukum ilmiah organisasi sosial. Jenis-jenis kekuatan tertentu mungkin penting jika orang yang revolusioner atau elit yang memimpin menciptakan dan mempertahankan ketertiban sosial di waktu krisis, sehingga cara-cara konstruktif dapat dibangun. Namun, kepercayaan eksekutif pada kekuatan akhirnya meningkatkan kekuatan itu dan menghancurkannya. Bagaimanapun juga studi ini tidak dirancang untuk tujuan kebijakan, tetapi untuk penjelasan, dan untuk tujuan pada tingkat umum. Jika studi ini mengklarifikasi penjelasan dan konsekuensif aksi kekerasan manusia, ia berarti memenuhi tujuannya.

Penggunan bahan-bahan ilustratif dalam studi ini memerlukan catatan penjelasan. Banyak hubungan umum yang diselidiki menjelaskan asal-usul masing-masing kejadian konflik politik kekerasan. Namun, tidak satupun kasus kekerasan politik menggambarkan atau dianalisis secara komprehensif. Aspek tertentu dari banyak kejadian khusus, dan generalisasi komparatif tentangnya, dicantumkan untuk mendukung atau mengilustrasikan hipotesis tertentu . Semua referensi ini bukan gambaran lengkap kejadian yang dicantumkan, kecuali ditentukan. Referensi itu iyalah bukti, fase revolusi perancis mungkin diringkas menjadi satu atau dua tanpa mengacu pada fakta bahwa ringkasan itu hanyalah satu dari banyak seginya. Studi tersebut hanya dapat dikritik dari segi apakah karakteristik tersebut benar dalam arti sempit. Jika dkritik atas dasar bahwa peristiwa tertentu salah dipresentasikan karena hanya sebagian yang dianalisis, objek studi tersebut disalah pahami.

Tekanan Dari Sistem Internasional




Suatu gejala besar yang bentuknya makin lama makin jelas di bidang hubungan internasional ialah kesenjangan raksasa yang makin membesar antara negara-negara maju dan Negara-negara berkembang: bangsa-bangsa yang kaya dan miskin. Di seluruh dunia berkembang revolusi meningkatnya harapan dengan cepat dikejar oleh revolusi meningkatnya kekecewaan. Dunia berkembang dihadapi oleh bermacam-macam krisis----pertumbuhan penduduk yang sangat cepat meningkat, berlipat-gandanya perkampungan dan pedesaan miskin, keonaran SARA, agitasi politik, yang diikuti dengan represi pemerintah, perang saudara, korupsi, hilangnya nilai-nilai tradisional, inflasi, utang yang bertambah dan berkurangnya pendapatan devisa. 

Bila kita melihat fakta kita menemukan bahwa kebanyakan Negara berkembang telah menjadi lebih miskin, tidak hanya dibandingkan dengan pertumbuhan dinamik Negara-negara kaya tetapi dalam arti yang mutlak. Suatu gejala yang terdapat di kebanyakan Negara berkembang dalam bidang dalam negerinya yaitu yang kaya menjadi makin kaya, dan jurang antara yang kaya dan yang miskin terus melebar dan jumlah orang yang hidup dibawah batas kemiskinan terus bertambah dari sepertiga menjadi dua pertiga penduduk---sedang terulang pada tingkat internasional. Kira-kira dua pertiga ummat manusia, termasuk mayoritas Negara yang besar, adalah sangat miskin, dan selagi kita bergerak menuju akhir abad kedua puluh kita menuju ke suatu keadaan di mana dunia mungkin terbagi menjadi suatu golongan minoritas yang terdiri atas 20 sampai 30 persen orang dari yang agak sampai yang sangat kaya dan segolongan mayoritas dari 70 sampai 80 persen yang bagi mereka kelaparan, penyakit, kebodohan, dan kekecewaan pribadi telah menjadi hukum yang keras bagi kehidupan sehari-hari mereka. 

Tiga puluh tahun setelah penandatanganan Piagam PBB, yang meluncurkan suatu usaha untuk mendirikan suatu tertib internasional baru, seperti yang dikemukakan oleh Deklarasi Cocoyoc, tertib itu sedang mencapai titik-balik yang kritis. Harapannya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk seluruh keluarga ummat manusia pada umumnya tetap belum tercapai. Pada waktu ini ada lebih banyak orang yang lapar, sakit, tuna-wisma, dan buta huruf daripada ketika PBB pertama didirikan. Masyarakat dunia telah gagal untuk menyediakan “suatu kehidupan yang aman dan bahagia bagi penduduknya yang makin bertambah.” 

Meningkatkan keberdikarian nasional adalah dasar yang harus digunakan untuk membangun perkembanagan dalam strategi apa pun. Keberdikarian bukan berarti anarki. Ia berarti bahwa bangsa dapat memuaskan kebutuhan dasarnya dengan suatu pemerataan sumber-sumber dunia secara tegas. Tetapi kepercayaan terutama harus diletakkan pada sumber-sumbernya sendiri---alam dan manusia. Ketergantungan pada pengaruh-pengaruh dan kekutan dari luar pada akhrnya akan membawa tekanan-tekanan politik dan pola-pola perdagangan yang eksploitatif. 

Teknologi yang tidak di impor secara borongan tetapi secara yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan niscaya akan mengakibatkan suatu desentralisasi ekonomi dunia dan kadang-kadang juga ekonomi nasional. Tetapi ini tentu saja akan membutuhkan partisipasi yang lebih dari bangsa-bangsa dan kerja sama internasional yang makin bertambah. Sebenarnya, untuk mengejar sasaran keberdikarian nasional dengan tujuan untuk mencipatakan perkembangan masyarakatnya suatu system politik bahkan mungkin perlu atau bijaksana untuk melepaskan diri, walaupun untuk sementara, dari system ekonomi internasional. 

Barangkali tidak mungkin memperkembangkan keberdikarian melalui partisipasi penuh dalam suatu system yang mengekalkan ketergantungan ekonomi. Suatu usaha seperti ini pasti akan ditentang oleh mekanisme pasaran internasional yang ada yang cenderung akan mempergunakan bermacam-macam manupulasi ekonomi--- mulai dari menarik atau menahan kredit, mengenakan embargo dan sanksi-sanksi ekonomi, menggunakan badan-badan intelligence untuk melakukan subversi, mempergunakan represi, termasuk siksaan, operasi-operasi counter intelligence, sampai intervensi besar-besaran. Sebenarnya memang perlu sekali ada kewaspadaan di fihak Negara-negara baru---suatu kewaspadaan terhadap aktivitas mereka yang secara ekonomi dan politik lebih kuat. Karena itu suatu Negara-bangsa yang kuat dan swatantra (otonom) akan merupakan landasan yang layak bagi pengembangan suatu system internasional yang baru. 


Referensi:
Varma, SP. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada



8 Tolak Ukur Sebuah Produk Lulus Jasa


  1. Performance: Kinerja fungsional yang bisa saja terkait dengan nilai ergonomic
  2. Features; Kegunaan, nilai tambah, positive side-effect
  3. Reliability; Keandalan dalam mencukupi kegunaan dan kepuasan
  4. Conformance: Kesesuaian disbanding rencana awal dalam menanggapi keinginan dan/ atau kebutuhan konsumen
  5. Durability; Kelanggengan dan daya tahan dalam melewati normalitas masa pakai tertentu
  6. Service-abilty; layanan purnajual disertai kesiapan persediaan suku cadang untuk perbaikan dan perawatan produk.
  7. Aesthetics; Keindahan, keelokan, kemulusan, keindahan, kesenangan, streamline, subjektivitas konsumsi
  8. Perceived quality; Mutu yang dapat terasa meningkatkan harga diri, nama baik, kredibilitas, reputasi, Semisal kemampuan brand image bus Volvo yang aman, sedan Mercedes yang mewah, sepeda motor Honda yang nyaman, baju Van Heusen yang tahan lama, maupun dasi Louis Vuitton yang rapi.


Referensi:
Sagir, Soeharsono dkk. 2009. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana.  

Tips Menurungkan Berat Badan

Menurunkan berat badan adalah cara yang banyak dilakukan untuk badan menjadi lebih proposinal. Tujuan dari menurunkan berat badan yaitu membuat tubuh menjadi lebih fres dan sehat. Ada banyak cara melangsingkan tubuh, tetapi yang biasa dilakukan dikalangan masyarakat yaitu dengan cara diet. Itu sama sekali tidak benar karena jika tidak makan tubuh akan menjadi lemah dan sakit. Untuk itu ada hal yang lain yang bisa dilakukan untuk membantu menurunkan berat badan dengan aman selain dengan melakukan diet.silahkan simak hal berikut.



  1. Banyak mengonsumsi air putih. Karena air putih sangat berguna bagi tubuh dan dipercaya dapat membuat berat badan menurun apabilah rutin mengonsumsi setiap hari.
  2. Hindri stres. Karena terkadang orang lebih cenderung makan dengan porsi yang banyak dalam keadaan marah. 
  3. Jangan mengabaikan sarapan. Sarapan sangat penting karena dapat memberikan tenaga saat melakukan katifitas dipagi hari dan mencegah makan yang banyak pada siang hari.
  4. Olahraga. Menurunkan berat badan yang paling efektif dengan melakukan olahraga yang rutin. sehingga dapat mempercepat menurunkan berat badan.
  5. Badan harus dijaga. Merupakan hal yang sulit untuk diterapkan, sebab komitmen untuk terus menerapkan pola hidup sehat cenderung sulit. Mengapa? Karena banyak yang tidak melanjutkan pola hidup sehat ketika semua cara telah berhasil dilakukan untuk menurunkan berat badan.

Tips Menghilangkan Kaki yang Pecah-pecah

Saat ini kaki anda kering dan pecah-pecah? jangan biarkan kaki anda terus terjadi seperti itu, silahkan simak beberapa tips menghilangkan kaki yang pecah-pecah.



  1. Madu. Mengapa? itu karena madu mengandung zat pelembab alami serta memiliki efek antimikroba. Sediakan setengah air hangat dalam ember lalu sediakan satu cangkir madu untuk dicampur kedalam air hangat. Kemudian benamkan kaki selam kurang lebih 15-20menit. Lalu gosok kakik anda dengan sikat lembut kemudia bersihkan dengan air biasa
  2. Minyak gosok levender dan lemon. Gunakan kapas untuk mengoleskan minyak zaitun pada kaki yang lalu pijatlah kaki selama 10-15menit. Kenakan kaus kaki diamkan selama satujam kemudian cuci kaki anda. Kemudian gabungkan 1 sendok makan minyak zaitun wadah yang kecil dengan minyak lavender atau lemon, tambahkan air dalam bagian yang sama aduk sampai kental. Terapkan secara teratur pada kaki yang kering dan pecah-pecah.

Enam Cara Agar Kamu Terhindar Dari Jerawat Terutama Bagi Para Hijabers

Memperbaiki diri dengan cara mengenakan pakaian yang lebih sopan dan kerudung selalu menjadi pilihan terbaik.. Banyak wanita yang memilih untuk berhijab karena ingin mematuhi perintah allah, juga karena merasa bahwa dirinya lebih cantik ketika mengenakan hijab. Agar terhindar dari masalah yang menghadang setiap wanita, termasuk kamu yang mengenakan hijab silahkan simak Enam cara agar kamu terhindar dari jerawat terutama bagi para hijabers.

  1. Pilihlah kerudung yang bahannya sesuai. Karena kerudung yang digunakan juga dapat berpengaruh terhadap kindisi kulitmu. Bahan yang rketika dikenakan cenderung panas, tidak mampu menyerap keringat dengan baik, keringat yang tertahan wajah akan bercampur dengan make-up, minyak dan kotoran. inilah sebab mengapa jerawat muncul pada areah wajah yang tertutup kerudung.
  2. Jaga kebersihan kerudung yang telah menempel diwajah. Sebab kerudung yang dikenakan juga berpengaruh bagi kondisi kulit wajah. Karena jilbab yang membingkai wajahmu bersentuhan langsung dengan kulit sehingga pori-pori dan keringat yang keluar langsung terserap oleh kerudung. Sebab kaeringat tersebut akan bercampur dengan minyak, kotoran, dan make-up yang ada pada kulit wajahmu sehingga akan memicu munculnya jerawat.
  3. Bersihkan kerudung secara rutin. Usahakan agar anda selalu mencuci kerudungmu agar kotoran dan sisa make-up yang menempel pada kerudungmu mencegah akan adanya jerawat.
  4. Gunakan Make-up yang tepat. Bagi anda yang kulitnya cenderung berminyak, pilihlah jenis pelembab atau krim pelembab sehingga memicu munculnya jerawat.
  5. Batasi menyentuh wajah. Ketika membersihkan rambut, tangan kamu pasti bersentuhan langsung dengan wajah. dan tangan yang sebelumnya telah menyentuh benda lain tentu sedikit banyak menumpuk menjadi kotoran. kotoran yang terbawa oleh tangan akan bercampur dengan minyak diwajah dan menimbulkan wajah.
  6. Selalulah bersihkan wajah dengan benar. Membersihkan wajah yang ditutupi dengan kerudung lebih teliti dari pada yang tidak mengenakan kerudung. Bagi kamu yang menggunakan hijab, sebagian wajah tertutup selama berjam-jam bisa membuat minyak,kotoran serta sisa riasan menumpuk gunakan pelembab dan pembersih wajah selalu.

Usaha Mengurangi Terjadinya Miskonsepsi Fisika Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Konflik Kognitif (PKM-AI)


USAHA MENGURANGI TERJADINYA MISKONSEPSI FISIKA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONFLIK KOGNITIF
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi.. Pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif ini merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. Dalam penelitian ini pembelajaran pada kelompok eksperimen menggunakan pendekatan konflik kognitif, dan kelas kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu : metode dokumentasi dan metode tes. Untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t-tes.. Ternyata dari hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata hasil belajar dapat disimpulkan pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar fisika.
ABSTRACT
The goal of the research is to know wether or not a cognitive conflict approach in physics has a significant influence in misconception. The cognitive conflict approach is a learning process which provides students to develop their knowledge. In this research two groups were observed. The first group called experiment group was treated with cognitive conflict approach and the other group called control group was treated with conventional learning process. Collecting data methods used in this research were documentation and test method. T-test was used to analyze the hypothesis. Based on the analysis results it can be concluded that cognitive conflict approach has a significant influence on students' learning result.
Keywords: cognitive conflict; physics learning process; misconception in physics

PENDAHULUAN
Miskonsepsi fisika dapat terjadi pada siapa saja di setiap jenjang pendidikan, baik pada siswa sekolah dasar, sekolah menengah, mahasiswa, bahkan guru ataupun dosen. Dalam KTSP, fisika merupakan mata pelajaran yang lebih banyak memerlukan pemahaman. Hal ini dilakukan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah menengah yang dapat dijadikan sebagai modal penguasaan ilmu dan teknologi pada pendidikan selanjutnya. Agar penguasaan standar kompetensi dapat tercapai maka siswa harus dapat memahami konsep-konsep sub pokok bahasan tertentu dalam suatu kegiatan pembelajaran. Menurut Van Den Berg (1991) siswa tidak memasuki pelajaran dengan kepala kosong yang dapat diisi dengan pengetahuan. Tetapi sebaliknya kepala siswa sudah penuh dengan pengalaman dan pengetahuan yang berhubungan dengan pelajaran yang diajarkan. Intuisi siswa mengenai suatu konsep yang berbeda dengan ilmuwan fisika ini disebut dengan miskonsepsi. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan pada saat mempelajari suatu konsep. Berdasarkan penelitian Mustafa Baser (2006) tentang pengembangan perubahan konsep dengan pembelajaran konflik kognitif pada pemahaman siswa tentang konsep suhu dan kalor, hasil uji menunjukan bahwa skor rata-rata postes siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol pada akhir pembelajaran tentang pemahaman konsep suhu
dan kalor. Secara spesifik Van Den Berg (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika cukup efektif untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa dalam rangka membentuk keseimbangan ilmu yang lebih tinggi. Rangsangan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika akan sangat membantu proses asimilasi menjadi lebih efektif dan bermakna dalam pergulatan intelektualitas siswa. Untuk itu pendekatan konflik kognitif perlu dilakukan dalam strategi pembelajaran fisika. Tujuan dari penelitian ini adalah apakah pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi fisika dan apakah pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar fisika. 
Metode
Penelitian ini dilakukan di SMP Negri 3 Bissappu Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester 2 SMP yang terdiri dari 288 siswa dan terbagi dalam delapan kelas dan masingmasing kelas terdiri dari 36 siswa. Sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VII E sebagai kelas eksperimen dan VIICsebagai kelas kontrol. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen eksperimen dengan langkah sebagai berikut : kondisi awal kedua sampel diberi pretes, setelah itu kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran menggunakan pendekatan konflik kognitif dan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Pada kondisi akhir dilakukan postes untuk kedua kelas, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi. Indikator dalam penelitian ini adalah penguasaan materi pelajaran dengan miskonsepsi sedikit mungkin. Untuk mengukur indikator tersebut dilakukan melalui test. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi, dan metode tes. Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan daftar nama siswa, dan daftar nilai IPA semester 1 kelas VII tahun pelajaran 2008/2009. Metode tes digunakan untuk mengukurmaspek kognitif siswa. Tes yang digunakan adalah tes objektif beralasan yaitu tes bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban disertai dengan alasan. Analisis data dilakukan dalam dua tahap diantaranya (1) analisis data sebelum penelitian meliputi analisis data nilai IPA semester 1 kelas VII tahun pelajaran 2008/2009 dan data pretes. (2) analisis data setelah penelitian yaitu analisis terhadap data postes. Analisis data sebelum penelitian digunakan sebagai syarat dalam pengambilan sampel yaitu dengan menguji homogenitas populasi, dan juga untuk mengetahui keadaan awal kedua kelompok sebelum diadakan perlakuan. Analisis data setelah penelitian digunakan untuk mengetahui keadaan akhir kedua kelompok setelah diadakan perlakuan. Selain itu digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu dengan melakukan uji normalitas, uji perbedaan dua rata-rata terhadap derajat miskonsepsi dan data postes. Setelah dilakukan pretes didapatkan derajat miskonsepsi dan nilai pretes. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yang menggambarkan derajat miskonsepsi kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum penelitian.

Selain itu Gambar 2 yang menggambarkan nilai pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setelah dilakukan postes didapatkan derajat miskonsepsi dan nilai postes. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 yang menggambarkan derajat miskonsepsi kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah penelitian. Selain itu Gambar 4 yang menggambarkan nilai postes kelas eksperimen dan kelas kontrol



PEMBAHASAN
Sebelum pembelajaran dimulai, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretes yang sama dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok berangkat dari keadaan yang sama atau tidak. Dari hasil pretes didapatkan nilai pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan nilai pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol terlihat hampir sama. Dari data pretes maka akan didapatkan derajat miskonsepsi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Seperti halnya nilai pretes, grafik derajat miskonsepsi kelas eksperimen dan kelas kontrol nilainya hampir sama. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa derajat miskonsepsi kelas eksperimen dan kelas kontrol juga homogen. Setelah pembelajaran kalor, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi postes yang sama dengan tujuan untuk mengetahui apakah pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi fisika dan hasil belajar fisika atau tidak. Dari nilai postes didapatkan derajat miskonsepsi yang akhirnya dianalisis untuk menguji hipotesis penelitian dengan analisis data setelah penelitian yang meliputi uji normalitas dan uji perbedaan dua rata-rata. Pada uji normalitas derajat miskonsepsi setelah penelitian dan data postes, kedua kelas yang digunakan sebagai sampel berdistribusi normal. Secara signifikan dihitung menggunakan uji t dengan taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata derajat miskonsepsi diperoleh thitung = -2,53 dan dengan taraf signifikansi 5 %, dk = 36+36-2 = 70 diperoleh tabel = 1,99, Dengan demikian thitung< ttabel, maka hipotesis Ho diterima. Oleh karena Ha ditolak berarti rata-rata
miskonsepsi kelas eksperimen lebih kecil dari pada kelas kontrol. Dengan demikian hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa rata-rata miskonsepsi kelas eksperimen lebih kecil dari pada kelas kontrol diterima. Hal ini dapat dilihat pada gambar 3 dimana terlihat miskonsepsi kelas eksperimen lebih kecil dari kelas kontrol. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi fisika. Miskonsepsi didefinisikan sebagai kesalahan pemahaman yang mungkin terjadi selama atau sebagai hasil dari pengajaran yang baru saja diberikan, berlawanan dengan konsepsi-konsepsi ilmiah yang dibawa atau berkembang dalam waktu lama. Van Den Berg (1991) menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah pola berfikir yang kosisten pada suatu situasi atau masalah yang berbeda-beda tetapi pola berfikir itu salah. Atau dengan kata lain konsepsi siswa bertentangan dengan konsep fisikawan, biasanya menyangkut hubungan antar konsep. Sedangkan menurut psikologi kognitif, timbulnya miskonsepsi disebabkan adanya asimilasi dan akomodasi pada otak manusia dalam menanggapi dan memahami informasi yang baru diterimanya. Dalam Van Den Berg (1991), Piaget menyatakan bahwa dengan asimilasi dan akomodasi, informasi baru yang masuk ke otak diubah sampai cocok dengan struktur otak. Sebelum belajar fisika, dalam struktur kognitif siswa telah terbentuk sebagai pra konsepsi mengenai peristiwa dan pengertian tentang konsep-konsep fisika. Hal yang perlu disadari adalah bahwa belum tentu pra konsepsi tersebut benar dan sesuai dengan pengalaman nyata. Dalam kondisi semacam ini, jika konsep-konsep baru langsung saja dimasukan dalam struktur kognitif siswa akan terjadi pencampuran konsep lama (yang belum tentu benar) dan konsep baru yang mungkin juga belum tentu dipahami secara benar pula. Akibat pencampuran ini menjadikan pengertian yang salah dan akan menyebabkan kesulitan belajar siswa dalam belajar fisika. Struktur kognitif siswa dapat mengalami reorganisasi untuk menyesuaikan dengan informasi yang baru diterimanya (akomodasi). Hal ini berarti kesalahan konsep yang telah menyatu dalam pikiran siswa dapat diperbaiki dengan memanfaatkan terjadinya proses akomodasi. Harapannya adalah agar siswa melakukan reorganisasi struktur kognitif sehingga terjadi pergeseran miskonsepsi yang salah menuju konsepsi yang benar. Pendekatan konflik kognitif dikembangkan dari pandangan Piaget bahwa siswa secara aktif melakukan reorganisasi pengetahuan yang telah tersimpan dalam struktur kognitifnya dengan melakukan adaptasi berupa proses asimilasi dan akomodasi. Menurut Van Den Berg (1991) bahwa asimilasi adalah suatu proses dimana informasi yang masuk ke otak disesuaikan sampai cocok dengan struktur otak itu sendiri. Sedangkan akomodasi adalah proses perubahan struktur otak karena hasil pengamatan atau informasi baru. Lebih lanjut Posner dalam Suparno (1997) menjelaskan tentang asimilasi dan akomodasi, yaitu ada dua tahap yang dilakukan dalam proses belajar untuk perubahan konsep. Tahap pertama adalah asimilasi dan tahap kedua adalah akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Hal ini sejalan dengan teori belajar bermakna dari Ausubel, belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang ada akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai siswa. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam otak siswa sudah ada konsepsi dan teoriteorisiswa, perolehan informasi baru akan disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah ada. Apabila pengalaman atau informasi baru bisa sama sekali tidak cocok dengan struktur kognitif siswa maka dapat menimbulkan konflik dan terjadilah asimilasi dan akomodasi, yaitu perubahan konsep dengan membentuk struktur kognitif yang cocok dengan informasi baru tersebut. Perubahan konsep yang benar dapat dilakukan dengan pendekatan konflik kognitif. Proses konflik kognitif dijelaskan secara singkat oleh Van Den Berg (1991) bahwa jaringan konsep sebenarnya merupakan suatu teori atau model yang digunakan siswa untuk menyelesaikan soal dan masalah fisika. Seperti teori ilmuwan dalam fisika, teori siswa juga dapat diuji. Misalnya siswa dihadapkan dalam suatu masalah, siswa disuruh meramalkan pemecahan masalah tersebut. Kemudian sesudah ramalan, guru atau siswa menguji ramalan dalam demonstrasi di depan kelas atau dalam praktikum. Jika hasil tidak cocok dengan ramalan tadi, siswa menghadapi konflik kognitif yang dapat menghasilkan perubahan jaringan konsep dalam otak siswa (perubahan struktur kognitifnya). Menurut Lee, dkk (2003), proses konflik kognitif meliputi tiga tahap yaitu: (1) Pendahuluan (preliminary) yaitu dilakukan dengan penyajian konflik kognitif, (2) konflik (conflict) yaitu penciptaan konflik dengan bantuan kegiatan demonstrasi yang melibatkan proses asimilasi dan akomodasi, dan (3) penyelesaian (resolution) yaitu kegiatan diskusi dan menyimpulkan hasil diskusi. Menurut hasil penelitian Kwon, dkk (2006),
pengaruh konflik kognitif dengan metode demonstrasi menunjukan terjadinya perubahan pemahaman konsep pada siswa tentang fisika yang lebih efektif dibandingkan dengan metode yang lain. Adanya rata-rata miskonsepsi kelas eksperimen yang diberi pendekatan konflik kognitif lebih kecil dari pada kelas kontrol yang diberi pembelajaran secara konvensional menunjukan penelitian ini tidak menyimpang dari penelitian pendukung yang telah ada. Beberapa penelitian pendukung telah dilakukan diantaranya penelitian Dr. Mustafa Baser (Research Assistant in Science Education at Middle East Technical University between 1993 and 1998) tentangpengembangan perubahan konsep dengan pembelajaran konflik kognitif pada pemahaman siswa tentang konsep suhu dan kalor, hasil uji anova menunjukan bahwa skor rata-rata postes siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol pada akhir pembelajaran tentang pemahaman konsep suhu dan kalor.
Adanya rata-rata hasil belajar kelas eksperimen yang diberi pendekatan konflik kognitif lebih besar dari pada kelas kontrol yang diberi pembelajaran secara konvensional menunjukan penelitian ini tidak menyimpang dari penelitian pendukung yang telah ada. Dalam hal ini ada peningkatan hasil belajar yang cukup signifikan pada kelas yang diberi pendekatan konflik kognitif. Adanya perbedaan derajat miskonsepsi ini karena pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konflik kognitif terjadi proses internal yang intensif pada peserta didik sehingga keseimbangan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi akan tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Den Berg (1991) bahwa dengan adanya konflik dalam otak siswa maka dapat menghasilkan perubahan jaringan konsep dalam otak siswa (perubahan struktur kognitifnya). Perubahan itu belum tentu benar, maka melalui penggunaan teorinya secara aktif dalam sejumlah masalah yang tepat, siswa dilatih dan diarahkan ke teori yang benar menurut model fisikawan sekarang. Kondisi ini dapat berdampak positif terhadap pengurangan miskonsepsi siswa. Pada kelas eksperimen, guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator, yaitu berperan dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa agar siswa menemukan konsep atau merubah konsepkonsep yang salah. Kesimpulan materi yang telah dipelajari juga dibuat bersama-sama oleh siswa dan guru memberikan penekanan saja. Adanya demonstrasi yang dilakukan oleh guru maka siswa kelihatan semangat dalam menerima pelajaran, Hal ini dapat dilihat dari keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran. Tentunya hal ini dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa sehingga berpengaruh terhadap pengurangan miskonsepsi yang dialami siswa. Hal ini sesuai pendapat Van Den Berg dalam Nana (2006) bahwa pendekatankonflik kognitif  memiliki kelebihan yaitu memperhatikan konsepsi yang salah pada diri siswa, melibatkan siswa secara aktif, membantu siswa dalam usaha memahami suatu konsep dan menanamkan konsep baru dengan benar dan tahan lama. Pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif ini merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri, karena keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa mengalami
proses asimilasi dan akomodai. Sehingga siswa setiap saat membangun pengetahuannya sampai konsep yang dipahaminya tidak bertentangan dengan konsep para ilmuwan. Hal ini sesuai dengan pendapat Posner dkk dalam Suparno (1997) bahwa dalam proses belajar terdapat proses perubahan konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Berdasarkan pengamatan peneliti, pada kelas kontrol yang pembelajarannya secara konvensional banyak siswa yang berbicara sendiri pada saat mengikuti pelajaran. Meskipun dalam pembelajaran kelas kontrol tidak selalu menggunakan metode ceramah, kadang diselingi dengan tanya jawab namun siswa tetap tidak merasa tertarik, jadi siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Siswa yang aktif hanya siswa-siswa tertentu saja sehingga pada kelas kontrol terlihat
dimonopoli oleh siswa-siswa yang cerdas saja. Sebagian besar siswa menjadi kurang mampu menyelesaikan atau menguasai materi yang disampaikan, sehingga hasil belajar yang diperoleh kurang maksimal. Hal ini sesuai dengan penelitian Sugiyanta (2008) bahwa tingkat ketuntasan belajar kelompok kontrol lebih rendah dibanding kelompok penelitian, yaitu hanya 57,50 %. Hal ini berkaitan dengan intensitas proses kognitif belajar siswa, dimana pembelajaran disampaikan secara konvensional sehingga kurang memberikan rangsangan kognitif yang baik bagi subjek didik. Sehingga hasil belajar yang diperoleh kurang maksimal. Adanya pengurangan miskonsepsi fisika dan peningkatan hasil belajar fisika dalam penelitian ini dikarenakan adanya perlakuan dengan pendekatan konflik kognitif. Hal ini dapat dilihat bahwa miskonsepsi dan hasil belajar siswa sebelum diadakan perlakuan cenderung homogen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 di atas. Sehingga dapat dikatakan kedua kelompok berangkat dari keadaan yang sama. Setelah perlakuan dengan pendekatan konflik kognitif ternyata besarnya miskonsepsi fisika mengalami penurunan dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya pengurangan miskonsepsi fisika dan peningkatan hasil belajar siswa bukan berasal miskonsepsi yang dibawa oleh siswa itu sendiri tetapi dikarenakan adanya perlakuan pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif. Tidak ada cara mengajar yang baik, demikian juga dengan pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Den Berg (1991) yang mangatakan bahwa pendekatan konflik kognitif ini tidak begitu saja menghasilkan konsep yang benar sehingga pembelajaran dengan pendekatan ini belum tentu maksimal. Pengajar harus pandai menentukan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan. Mungkin materi kalor lebih cocok jika dalam pembelajaran menggunakan pendekatan yang lain. 
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap miskonsepsi fisika. Dalam hal ini terlihat pada taraf signifikansi 5 %, hipotesis penelitian yang menyatakan rata-rata miskonsepsi kelas eksperimen lebih kecil dari rata-rata miskonsepsi kelas kontrol diterima. Selain itu pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran fisika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar fisika. Dalam hal ini terlihat pada taraf signifikansi 5 %, hipotesis penelitian yang menyatakan rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih besar dari rata-rata hasil belajar kelas kontrol diterima, jadi terlihat ada pengaruh miskonsepsi terhadap hasil belajar. Penul is menyarankan agar guru lebih memperhatikan prasyarat konsep yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran, menyampaikan konsepkonsep dasar secara benar dan membantu siswa dalam menghubungkan antar konsep serta pandai memilih pendekatan pembelajaran untuk mengurangi miskonsepsi fisika yang dialami oleh para siswa. Di samping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dan informasi dalam memilih cara mengajar yang efektif untuk mengurangi miskonsepsi. Selain itu untuk melengkapi penelitian ini, mungkin peneliti lain dapat melakukan penelitian serupa dengan materi yang berbeda atau pendekatan pembelajaran yang berbeda. Atau peneliti dapat menganalisis miskonsepsi untuk masing-masing siswa sehingga dapat diketahui berhasil atau tidaknya pendekatan pembelajaran yang digunakan.


DAFTAR PUSTAKA
Psikologi Belajar
Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek
Baser, M. 2006. Fostering Conceptual Change by Cognitive Conflict Based Instruction on Students'
Understanding of Heat and Temperature Concepts., 2(2):1 Kwon, J, dkk. 2006. The Effects of Cognitive Conflict onStudents Conceptual Change in Physics.,4(1).64-79
Lee, G, dkk. 2003. Development of An Instrument for Measuring Cognitive Conflict in Secondary-Level
Science Classes.. 40(6).585-603
Nana. 2006.. Surakarta : Universitas Sebelas Maret (UNS) Sudjana. 2005. . Bandung :Tarsito.
Sugianta. 2008.







Penerapan Metode Demonstrasi Berbantuan Alat Peraga Untuk Meningkatkan Minat Dan Motivasi Siswa Dalam Pembelajaran Fisika (PKM-AI)


PENERAPAN METODE DEMONSTRASI BERBANTUAN ALAT PERAGA UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN MOTIVASI SISWA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menegtahui keefektifan metode demonstrasi berbantuan alat peraga dalam upaya peningkatan minat dan motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika pokok bahasan kalor. Penelitian dilaksanakan di SMA Negri Dua Bantaeng, mulai dari 15 Mei sampai 21 Mei 2012. Subjek penelitian adalah kelas X-2, dengan jumlah siswa 33 orang. Penelitian dilakukan dengan dua siklus. Siklus pertama untuk materi ajar perpindahan kalor secara konduksi, dan siklus kedua untuk materi perpindahan kalor secara konveksi. Pada siklus I berdasarkan hasil observasi minat belajar siswa mendapatkan prosentase ketuntasan 80% dan untuk motivasi 80% yang masih dibawah indikator keberhasilan yaitu 85%. Untuk latihan soal siswa sebenarnya sudah cukup bagus yaitu 70, namun masih terdapat 9 siswa yang mendapat nilai dibawah standart yang telah ditentukan atau KKM. Pada siklus II berdasarkan observasi minat belajar siswa mendapatkan prosentase ketuntasan 87% dan untuk motivasi 87% yang sudah di atas indikator keberhasilan yaitu 85%. Peningkatan ini juga dapat dilihat dari latihan soal siswa, dimana pada latihan soal kali ini tidak ada satupun siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM yaitu dengan nilai rata-rata kelas 77.
Kata kunci: minat, motivasi, metode demonstrasi, dan alat peraga

PENDAHULUAN
Fisika adalah ilmu yang yang mempelajari kejadian-kejadian alam serta interaksi benda-benda, atau materi-materi di alam ini (Indrajit, 2002: 1). Fisika juga mempelajari tentang fenomena-fenomena alam. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada siswa untuk hidup berdasarkan hukum alam. Selain itu belajar fisika merupakan suatu pembelajaran untuk memahami konsep-konsep ilmiah dan aplikasinya dalam masyarakat. Fisika merupakan kumpulan pengetahuan dan juga kumpulan proses.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:156) belajar merupakan proses melibatkan manusia secara orang per orang sebagai satu kesatuan organisme, sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Salah satu faktor pendukung belajar adalah minat dan motivasi. Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh (Slameto, 2010: 180). Sedangkan motivasi adalah suatu perubahan energi dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2009: 186). Sedangkan untuk meningkatkan minat dan motivasi dalam proses pembelajaran, dapat menggunakan metode demonstrasi. Hasil penelitian oleh Maria dan Mesra (2011) penerapan metode pembelajaran “Demonstrasi” dapat meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi pelajaran teknik kolase. Hal ini terlihat pada peningkatan aktivitas siswa pada proses pembelajaran serta peningkatan hasil belajar berupa karya keterampilan siswa dalam mengerjakan produk kerajinan teknik kolase yang ditugaskan oleh guru setiap siklusnya.
Menurut Djamarah dan Zain (2006: 90) metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan. Dengan pembelajaran menggunakan metode demonstrasi, maka secara langgsung siswa dapat mengamati hal-hal yang terjadi dalam praktikum alat peraga dan merupakan konsep dasar pembelajaran fisika. Dengan konsep yang benar maka akan mempermudah siswa untuk memahami materi fisika. Peserta didikpun lebih mudah mengingat, menceritakan dan melaksanakan sesuatu (pelajaran) yang pernah diamati (diterima, dialami) di kelas apabila didukung dengan pembelajaran yang menggunakan peragaan-peragaan (media pembelajaran) yang konkrit.
Cabang IPA yaitu Fisika yang penerapannya banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari salah satunya adalah konsep kalor. Konsep kalor merupakan salah satu kompetensi dasar pada sekolah menengah atas (SMA) harus benar-benar dipahami oleh siswa. Untuk mempermudah siswa dalam mempelajarinya digunakan proses belajar dimana siswa mengalami sendiri dalam bentuk mengamati mempraktikkan secara langsung. Dalam kegiatan tersebut siswa akan benar-benar memahami materi yang diajarkan.
Sedangkan untuk menghasilkan pembelajaran fisika yang bermakna maka harus memahami bagaimana pembelajaran fisika yang berpusat pada siswa, yang berangkat dari ketertarikan, minat dan motivasi siswa. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya serap dan pemahaman siswa pada materi yang diajarkan. Serta untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada siswa diharapkan dapat memacu siswa untuk mengoptimalkan kemapuan diri dan mengeksplorasi segala kelebihan yang dimiliki siswa itu sendiri.
Setelah dilakukan observasi mengenai pembelajaran fisika di SMA NEGRI DUA BANTAENG tahun ajaran 2011/2012 Semarang ternyata sebagian besar siswa-siswinya mempunyai perhatian yang kurang terhadap mata pelajaran fisika. Hal ini dikarenakan pembelajaran fisika umumnya dilaksanakan dengan cara yang konvensional sehingga siswa merasa jenuh dan bosan dalam pembelajaran, siswa juga menjadi kurang aktif dalam mengikuti pelajaran, sehingga pembelajaran yang dilaksanakan kurang berpengaruh pada siswa. Kenyataan tersebut diperkuat dengan rendahnya rata-rata hasil ulangan umum semester terutama kelas X.2 yang masih di bawah KKM yaitu 62, dan belum mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 
Sedangkan Nilai Standar KKM adalah 70. Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut di atas salah satunya adalah pembelajaran dengan menggunakan alat peraga. Hasil penelitian oleh Sambudi dan Mosik (2009) penggunaan alat peraga papan optik pada pokok bahasan pemantulan cahaya dapat meningkatkan hasil belajar kognitif. Untuk mempermudah penyampaian materi yang diajarkan diperlukan media belajar, salah satu media belajar yang dapat mempermudah siswa untuk mengingat, menceritakan dan melaksanakan sesuatu (pelajaran) yang pernah diamati (diterima, dialami) di kelas adalah alat peraga. Alat peraga yang dibuat adalah alat peraga konduksi dan alat peraga konveksi. Alat peraga ini dibuat untuk membuktikan perpindahan kalor secara konduksi atau
perpindahan kalor melalui zat tanpa disertai perpindahan partikel zat, dan perpindahan
kalor secara konveksi atau perpindahan kalor melalui suatu zat yang disertai dengan perpindahan partikel-partikel zat itu. Alat peraga yang biasa digunakan untuk membuktikan adanya perpindahan kalor secara konduksi dan konveksi biasanya hanya menggunakan alat yang ala kadarnya saja, sehingga memunculkan ide untuk membuat dan merangkai alat peraga konduksi dan konveksi dengan desain yang menarik. Melihat permasalahan di atas, maka penulis tertarik mengambil judul “Penerapan Metode Demonstrasi Berbantuan Alat Peraga Untuk Meningkatkan Minat dan Motivasi Siswa Dalam Pembelajaran Fisika“.

METODE PENELITIAN
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X-2 Semester II SMA Negri Dua Bantaeng, dengan jumlah siswa sebanyak 33 siswa yang terdiri dari 20 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan, seorang guru, dan seorang teman sejawat. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, masing-masing siklus dengan tahapan: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk mengetahui mutu untuk kerja individu atau siswa terhadap pembelajaran sains. Pernyataan berdasarkan fakta data kualitatif untuk mengukur keberhasilan.
1. Data Analisis Minat dan Motivasi Siswa Guna mengetahui seberapa besar minat belajar yang ada pada siswa dalam pembelajaran fisika, analisis yang dilakukan pada angket minat belajar siswa adalah sebagai berikut:
Prosentase (%) = x100% Nn
n = jumlah skor seluruh siswa
N = jumlah skor maksimal
% = tingkat prosentasi yang ingin dicapai.
Kriteria penafsiran variabel penelitian ini ditentukan :
Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dan Inkuiri ... .106
81 – 100 = minat sangat baik
61 – 80 = minat baik
41 – 60 = minat cukup
21 – 40 = minat kurang
0 – 20 = minat tidak baik

2. Data Analisis Motivasi Siswa Guna mengetahui seberapa besar motivasi belajar yang ada pada siswa dalam pembelajaran fisika, analisis yang dilakukan pada angket motivasi belajar siswa adalah sebagai berikut: Prosentase (%) = x100%Nn
n = jumlah skor seluruh siswa
N = jumlah skor maksimal
% = tingkat prosentasi yang ingin dicapai.
Kriteria penafsiran variabel penelitian ini ditentukan :
81 – 100 = motivasi sangat baik
61 – 80 = motivasi baik
41 – 60 = motivasi cukup
21 – 40 = motivasi kurang
0 – 20 = motivasi tidak baik

HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara keselurahan hasil penelitian dari siklus I sampai siklus II baik minat, motivasi belajar dan latihan soal siswa mengalami peningkatan. Seperti terlihat pada Tabel 1 dan tabel 2 untuk respon dan aktivitas siswa dalam kelas.

Pada pembelajaran siklus II terjadi peningkatan pada prosentase ketuntasan minat belajar siswa yang sebelumnya 80% menjadi 87%, sedangkan untuk prosentase ketuntasan motivasi belajar siswa yang sebelumya 80% menjadi 87%. 
Pada pembelajaran siklus II ini juga terjadi peningkatan rata-rata kelas yang awalnya 70 menjadi 77 dengan siswa yang tuntas 33 siswa atau 100%.  Dalam sebuah pembelajaran selain minat dan motivasi belajar, respon dan aktivitas belajar siswa dalam kelas juga harus dicermati. Sedangkan untuk respon dan aktivitas siswa dapat dlihat pada tabel 2 berikut. Dalam sebuah pembelajaran selain minat dan motivasi belajar, respon dan aktivitas belajar siswa dalam kelas juga harus dicermati. Sedangkan untuk respon dan aktivitas siswa dapat dlihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Respon dan Aktivitas Siswa



Dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan minat, dan motivasi belajar siswa. Dapat dikatakan bahwa penelitian tindakan kelas ini berhasil.
Senada dengan Sambudi dan Mosik (2009) menyebutkan dalam penelitiannya, hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alat peraga papan optik pada pembelajaran fisika pada siswa kelas 3 A SMA Negri Dua Bantaeng“Pemantulan Cahaya” dapat dilaksanakan. Berdasarkan data hasil belajar siswa, maka hasil penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan pada siklus II mengalami peningkatan dari pada siklus I, yaitu nilai rata-rata meningkat yang awalnya 71,70 menjadi 79,30 dengan perolehan nilai tertinggi yang awalnya 90,00 menjadi 95,00 dan nilai terendah yang awalnya 40, 00 menjadi 50,00 sedangkan ketuntasan belajar klasikal meningkat yang awalnya 71,40 menjadi 90,5%. Peningkatan nilai rata-rata dan ketuntasan belajar pada siklus II dikarenakan pengguanaan metode eksperimen dengan menggunakan alat peraga papan optik. Dengan metode ini dapat meningkatkan keaktifan dan semangat belajar siswa. Selain itu alat peraga ini membuat siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata. Pengalaman diperoleh saat siswa mencari jawaban dari masalah yang diutarakan dalam LKS. Dengan pengalaman ini menuntut siswa untuk terlibat langsung baik mental maupun fisik sehingga siswa merasa senang dalam belajar.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Arsyad (dalam Sambudi dan Mosik) yang menyatakan bahwa alat peraga membantu guru dalam menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang efektif. Salah satu pengaruh alat peraga dalam hal ini adalah dapat menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa. Dengan peragaan papan optik, siswa tidak hanya mendengarkan ceramah dari guru saja melainkan juga mengamati peragaan yang dilakukan oleh guru, sehingga penyampaian materi kepada siswa lebih efektif serta dapat meningkatkan pemahaman mereka.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas yang telah dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan penerapan metode demonstrasi berbantuan alat peraga pada mata perlajaran fisika kelas 3 tahun pelajaran 2011/2012 pada pokok bahasan kalor terdapat peningkatan respon dan aktivitas belajar siswa di dalam kelas.
2. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan penerapan metode demonstrasi berbantuan alat peraga pada mata perlajaran fisika kelas 3 tahun pelajaran 2011/2012 pada pokok bahasan kalor terdapat peningkatan minat belajar siswa sebesar 7%.
3. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan penerapan metode demonstrasi berbantuan alat peraga pada mata perlajaran fisika kelas 3 tahun pelajaran 2011/2012 pada pokok bahasan kalor terdapat peningkatan motivasi belajar siswa sebesar 7%.
4. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan penerapan metode demonstrasi berbantuan alat peraga pada mata perlajaran fisika kelas 3 tahun pelajaran 2011/2012 pada pokok bahasan kalor terdapat peningkatan nilai rata-rata latihan soal siswa sebesar 7%.

DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, S B dan Aswan Z. 2006. Strategi Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dudi, Indrajit. 2002. Fisika Untuk SMU. Bantaeng: Grafindo Media Pratama.
Hamalik, O. 2009. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

PKM-AI (Pembelajaran Fisika Dengan Metode Inquiry Terbimbing Untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains 1)


PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN METODE INQUIRY
TERBIMBING UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN PROSES SAINS 1
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang pengembangan keterampilan proses sains pada pokok bahasan fluida melalui kegiatan praktikum fisika dasar. Pada pelaksanaan praktikum berbasis inkuiri tersebut, dengan menggunakan lembar kerja siswa (LKS) dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan keterampilan merencanakan, keterampilan melaksanakan dan keterampilan mengkomunikasikan. Penelitian ini dilakukan dengan teknik tindakan kelas yang terbagi dalam tiga siklus. Data dalam penelitian ini didapatkan dari teknik tes dan teknik non tes. Data yang berasal dari teknik tes terdiri tes awal dan tes akhir, lembar kerja siswa, dan laporan. Sedangkan untuk data teknik non tes terdiri dari lembar observasi dan lembar angket. Adapun semua data hasil penelitian, dianalisis menggunakan prosentase.Keterampilan merencanakan dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan, tetapi dari siklus II ke siklus III mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh materi yang dipelajari lebih sulit, penurunan rumus lebih memerlukan tahap yang panjang, variabel-variabel yang diperlukan lebih banyak, langkah kerja lebih sukar dan peralatan yang dibutuhkan lebih banyak. Keterampilan mengkomunikasikan dari siklus I sampai siklus III terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan dalam menentukan tujuan, langkah kerja, cara memperoleh data, dan cara menganalisis data semakin meningkat. Untuk keterampilan dalam penulisan pembahasan dan penulisan kesimpulan juga mengalami peningkatan, walaupun nilai posentasenya masih berada di bawah lebih dari 60 %.
Kata kunci : keterampilan proses sains, praktikum fisika dasar

A. Pendahuluan
Kurikulum baru yang disahkan penggunaannya mulai tahun pelajaran 2004/2005, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam rangka mencapai keunggulan masyarakat di bidang ilmu dan teknologi. Pembelajaran sains yang dikehendaki dalam KBK merupakan pembelajaran yang didasarkan prinsip-prinsip ilmiah, baik sikap ilmiah, proses ilmiah maupun produk ilmiah.
Prinsip-prinsip ilmiah tersebut dijiwai oleh inkuiri atau penyelidikan sendiri. Dengan demikian, pembelajaran sains tidak pernah lepas dengan kegiatan inkuiri. Dalam kegiatan pembelajaran inkuiri siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ilmiah, misalnya mengamati, mengumpulkan data, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merancang percobaan maupun menarik kesimpulan. Petunjuk praktikum fisika dasar yang sudah ada, menyebutkan tujuan, alat dan bahan praktikum serta langkah kerja dengan rinci, sehingga siswa tinggal melaksanakan praktikum, tanpa membuat perencanaan percobaan terlebih dahulu. Sehingga dalam pelaksanaan, petunjuk praktikum yang digunakan selama ini kurang mengembangkan keterampilan ilmiah. Dari uraian diatas, penulis memandang perlu untuk mengembangkan keterampilan ilmiah melalui praktikum fisika dasar pada siswa calon guru. Dalam hal ini, peneliti akan membuat petunjuk praktikum yang menuntut siswa calon guru untuk lebih mengembangkan keterampilan ilmiah. Adapun keterampilan ilmiah yang dapat dikembangkan seperti menetapkan tujuan percobaan, merencanakan langkah kerja secara bertahap, menyebutkan variabel dan instrumen yang tepat dalam percobaan tersebut. Dengan ini
penulis mengambil judul “ Pengembangan Keterampilan Proses Sains Bagi Siswa Calon Guru Melalui Praktikum Fisika Dasar Pada Pokok Bahasan Fluida ”. Berdasarkan latar belakang tersebut, kami merumuskan permasalahan pertama keterampilan proses sains apa sajakah yang dapat dikembangkan dalam praktikum fisika dasar ?. Kedua bagaimanakah bentuk petunjuk kegiatan praktikum fisika dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses sains ?
B. Metode Penelitian
Berikut langkah penelitian yang dibagi dalam tiga siklus :

Gambar siklus pelaksanaan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan objek penelitian siswa kelas 3 mata pelajaran praktikum Fisika. Penelitian ini dilakukan tahun 2008 lokasi laboratorium Fisika.

C. Hasil dan Pembahasan
Penelitian tindakan kelas ini dirancang menjadi 3 siklus dengan 3 macam kegiatan praktikum. Dengan rincian pada siklus I untuk percobaan prinsip archimedes, siklus II untuk percobaan torricelli dan siklus III untuk percobaan viskosimeter bola jatuh. Pengembangan keterampilan proses sains siswa calon guru pada pokok bahasan fluida secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Prosentase komponen keterampilan proses sains secara



Sebelum siswa melaksanakan praktikum, dilakukan tes awal. Dari tes awal tersebut didapatkan nilai rata-rata sebesar 35,58. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang praktikum dengan pokok bahasan fluida masih rendah. Setelah siswa melaksanakan praktikum sebanyak tiga macam, diberikan tes akhir dengan soal yang sama dengan tes awal. Dari tes akhir diperoleh nilai rata-rata sebesar 73,43. Berdasarkan dari nilai tes akhir tersebut, menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kegiatan pembelajaran ini, pemahaman siswa menjadi meningkat. Dalam membahas keterampilan proses sains yang dicapai siswa, akan dikelompokkan berdasarkan pada komponenkomponen keterampilan yang dikembangkan.
1. Keterampilan Merencanakan Siklus I, dari nilai prosentase lima komponen keterampilan
merencanakan, hanya tiga macam keterampilan yang sudah memenuhi indikator keberhasilan. Sedangkan dua macam keterampilan yang lain masih berada dibawah indikator keberhasilan, yaitu menetapkan variabel dan cara menganalisis data. Hal yang menjadi penyebab rendahnya kedua macam keterampilan tersebut mungkin siswa belum memiliki persiapan dalam menghadapi praktikum. Hal ini disebabkan mungkin karena siswa saat belajar di sekolah menengah, jarang atau belum pernah melaksanakan praktikum fisika. Nilai prosentase keterampilan merencanakan secara keseluruhan adalah 60,01%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti kurang dari cukup. Pada siklus II, semua nilai prosentase lima komponen keterampilan merencanakan berada di atas indikator keberhasilan. Jika dicermati nilai prosentase untuk keterampilan menentukan variabel dan cara menganalisis data, dari siklus I ke siklus II ada peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan pada akhir praktikum siklus I, peneliti memberikan pengarahan kepada siswa dalam menentukan variabel dan cara menganalisis data. Nilai prosentase keterampilan merencanakan secara keseluruhan adalah 80,14%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti baik. Pada siklus III, nilai prosentase lima komponen keterampilan merencanakan, dibandingkan dengan nilai prosentase pada siklus II, semua komponen mengalami penurunan. Kemungkinan terjadinya penurunan disebabkan oleh materi yang dipelajari lebih sulit, penurunan rumus lebih memerlukan tahap yang panjang, variabel-variabel yang diperlukan lebih banyak, langkah kerja lebih sukar dan peralatan yang dibutuhkan lebih banyak. Nilai prosentase keterampilan merencanakan secara keseluruhan adalah 68,94%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti lebih dari cukup.
2. Keterampilan Melaksanakan Pada semua siklus, dari nilai prosentase tujuh komponen keterampilan melaksanakan, sebanyak empat macam keterampilan sudah memenuhi indikator keberhasilan. Sedangkan tiga macam keterampilan yang lain masih berada dibawah indikator keberhasilan. Keterampilan tersebut meliputi memilih alat, ketepatan menggunakan alat dan ketelitian pengamatan. Hal yang menjadi penyebab rendahnya ketiga macam keterampilan tersebut mungkin mahasiswa kurang mengenal alat ukur yang digunakan. Kemungkinan yang lain mahasiswa juga kurang memahami dalam penggunaan alat ukur tersebut. Sehingga siswa menjadi kurang teliti dalam membaca alat ukur. Untuk tiap siklus berikutnya, peneliti memberikan pengarahan untuk pengenalan dan penggunaan alat ukur. Khusus pada siklus II, masih ada keterampilan yang berada dibawah indikator keberhasilan. Keterampilan tersebut yaitu keterampilan dalam melaksanakan kerja praktikum secara urut. Penyebab terjadinya rendahnya nilai prosentase tersebut, mungkin
siswa kurang mempunyai gambaran dengan urutan kerja yang bertahap dalam pelaksanaan praktikum. Nilai prosentase keterampilan melaksanakan pada secara keseluruhan pada siklus I adalah 63,42% dan pada siklus II adalah 60,66%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti cukup. Sedangkan untuk nilai prosentase keterampilan melaksanakan pada siklus III secara keseluruhan adalah 58,82%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti kurang dari cukup.
3. Keterampilan Mengkomunikasikan Pada siklus I, nilai prosentase keterampilan mengkomunikasikan yang masih berada dibawah indikator keberhasilan yaitu analisis data, penulisan pembahasan dan penulisan kesimpulan. Berdasarkan hasil laporan, untuk siklus I sebagian mahasiswa masih salah dalam menghitung besaran yang diukur secara analitik maupun membuat dan menafsirkannya dalam bentuk grafik. Dalam siklus I ini, peneliti memberikan kebebasan kepada siswa dalam pembuatan laporan. Berdasarkan hasil laporan tersebut, didapatkan bahwa siswa masih kesulitan dalam pembuatan format laporan. Pada penulisan pembahasan, berdasarkan hasil laporan salah satu penyebabnya siswa tidak mencantumkan bagian tersebut. Penyebabnya mungkin, mahasiswa tidak paham dalam urutan pembuatan laporan. Kemungkinan yang lain, siswa berpendapat bahwa laporan hanya berupa mengkomunikasikan hasil data pengamatan dari pelaksanaan praktikum saja bukan menjelaskan didapatkannya hasil data pengamatan tersebut. Sedangkan pada penulisan kesimpulan yang dituliskan siswa dalam laporan, mahasiswa dalam mencantumkan kesimpulan tidak berdasarkan data yang telah diperoleh dalam praktikum, tetapi berdasarkan teori. Hal ini terjadi mungkin siswa belum tahu bahwa dalam penulisan kesimpulan harus berdasarkan data yang diperoleh dalam praktikum. Nilai prosentase keterampilan melaksanakan secara keseluruhan adalah 59,84%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti kurang dari cukup. Pada siklus II, keterampilan untuk analisis data meningkat. Ini diartikan mahasiswa telah paham dalam perhitungan secara analitik, menafsirkan data pengamatan dalam bentuk grafik. Sedangkan pada keterampilan dalam penulisan pembahasan dan penulisan kesimpulan meningkat, tetapi nilai prosesentasenya masih berada dibawah indikator keberhasilan. Dilihat dari hasil laporan, siswa sudah mencantumkan pembahasan. Tetapi, siswa cenderung membahas hasil dari data pengamatan bukan yang menjadi penyebab dihasilkannya data pengamatan tersebut. Sama halnya dengan kesimpulan mahasiswa masih juga menyebutkan kesimpulan berdasarkan teori. Walaupun dalam pembuatan laporan peneliti telah memberikan pengarahan pada siswa. Hal ini terjadi mungkin mahasiswa kurang paham dengan penjelasan yang diterangkan oleh peneliti. Nilai prosentase keterampilan melaksanakan secara keseluruhan adalah 72,68%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti baik. Pada siklus III, dalam pembuatan laporan, peneliti memberikan pengarahan dengan memberikan pertanyaanpertanyaan pada siswa. Berdasarkan hasil laporan yang didapatkan, untuk nilai persentase keterampilan penulisan pembahasan dan penulisan kesimpulan ada peningkatan, walaupun masih berada dibawah indikator keberhasilan. Hal ini terjadi karena hanya beberapa siswa yang telah benar dalam
mengungkapkan pembahasan dan kesimpulan. Tetapi sebagian siswa yang lain, masih mengungkapkan pembahasan dan kesimpulan seperti laporan pada siklus II. Nilai prosentase keterampilan melaksanakan pada siklus III secara keseluruhan adalah 76,50%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai prosentase tersebut, mempunyai arti baik.



D. Simpulan
Dari hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan tentang pengembangan keterampilan proses sains bagi siswa calon guru melalui praktikum fisika dasar pada pokok bahasan fluida, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Keterampilan proses sains dapat dikembangkan dalam praktikum fisika dasar. Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi keterampilan merencanakan, keterampilan melaksanakan, dan keterampilan mengkomunikasikan.
2. Dengan menggunakan petunjuk praktikum fisika dasar berbasis inkuiri yang terdiri dari Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) dan lembar evaluasi dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses sains. Walaupun ada beberapa komponen keterampilan-keterampilan yang kurang berkembang dengan menggunakan petunjuk praktikum tersebut. Hal ini disebabkan praktikum pada siklus selanjutnya, materinya semakin sulit, variabel-variabel yang digunakan bertambah, langkah kerja yang dilaksanakan bertambah komplek dan peralatan yang digunakan juga bertambah. Penyebab tersebut didukung dari hasil angket yang diberikan mahasiswa pada akhir praktikum.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.
             Jakarta: Bumi Aksara
Conny Semiawan, dkk. 1992. Pendekatan Ketrampilan Proses.
Jakarta: Gramedia
Darsono Tjokrosujoso.1994. Dasar-dasar Penelitian. Jakarta:
Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Diyanto,dkk. 2000. Metode/Pendekatan Discovery Dan Inquiry.
Forum Penelitian XIII. 43:45
Badan Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan. 2004. Pedoman
Akademik. Semarang:Universitas Negeri Semarang
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2003.
Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Djoko Sukastomo. 2004. KBK Mengubah Potret Pendidikan. 55. 118.
14. Juni. Hlm. 6
Douglas C. Giancolli. 1997. Fisika Jilid 1. Terjemahan Cuk Imawan.
Jakarta: Erlangga
Karso,dkk. 1993. Dasar-dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Universitas
Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Komarruddin dan Yooke Tjuparmah. 2000. Kamus Istilah Karya Tulis
Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara
Marthen Kanginan.1996. Fisika SMU Edisi Kedua Jilid 1C untuk
Kelas 1. Jakarta: Erlangga
Muhsin Lubis, dkk. 1993. Pengelolaan Laboratorium IPA. Jakarta:
Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan
Masalah (Problem Based Instrution). Makalah. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya
Omang Wirasasmita. 1989. Pengantar Laboratorium Fisika. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Poerwadarminta. 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Supriyono Koes H. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang:
Universitas Negeri Malang
Tim Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah. 1999.
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
JP2F, Volume 1 Nomor 2 September 2010

14 Judul PKM-AI

workshoppkm-ai.com

Sahabat kali ini kami akan memberikan beberpa judul PKM-AI yang telah dikirim ke dikti yaitu seperti dibawah ini..

  1. Pengembangan Modal Pembelajaran Kooperatif dan Strategi Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII C SMP 3 GANTARANGKEKE.
  2. Pembelajaran Fisika Dengan Metode INQUIRY Terbimbing Untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains 1.
  3. Miskonsepsi Ipa (fisika) Pada Guru Sd.
  4. Pembelajaran Kebencanaan Alam Dengan Model Bertukar Pasangan Bervisi Sets Untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa.
  5. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Berbasis Media Labolatorium Virtual Pada Materi Dualisme Gelombang Partikel Di SMA NEGERI SATU BISSAPPU.
  6. Implementasi Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Di Sekolah Dasar.
  7. Pengembangan Multimedia Pembelajaran Fisika Berbasis Audio-Video Eksperimen Listrik Dinamis  Di Smp.
  8. Pembelajaran Fisika Melalui Inkuiri Terbimbing Dengan Metode Eksperimen Dan Demonstrasi Ditinjau Dari Aktivitas Dan Perhatian Siswa.
  9. Pemahaman Konsep Siswa Setelah Menggunakan Media Pembelajaran Animasi Fisika Yang Tidak Sesuai Fisika.
  10. Usaha Mengurangi Terjadinya Miskonsepsi Fisika Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Konflik Kognitif.
  11. Pembelajaran Fisika Dengan Contextual Teaching And Learning (CTL) Melalui Pengalaman Empiris: Kasus Perbedaan Pemahaman Konsep Gerak Melingkar Pada Siswa Kelas X Di SMA NEGERI 2 BANTAENG.
  12. Pengembangan Evaluasi Peta Konsep Untuk Mengukur Struktur Kognitif Pada Pokok Bahasan Pembiasan.
  13. Penerapan Metode Demonstrasi Berbantuan Alat Peraga Untuk Meningkatkan Minat Dan Motivasi  Siswa Dalam Pembelajaran Fisika.
  14. Model Pembelajaran Berbasis Peningkat Keterampilan Proses Sains