Home » » Agama dan Negara Dalam Islam (Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni)

Agama dan Negara Dalam Islam (Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni)

   Salah satu hal mengenai  islam yang tidak mungkin diingkar ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersana dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah Saw melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsbir-yang kemudian diubah namanya menjadi madinah-hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.
     Sesungguhnya secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, dimasa lalu pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas islam. Pembicaraan hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan anatara kaum muslim dan non-muslim Barat (Kristen Eropa). adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengab ekspansi militer politik islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh timur rengah adalah dahulunya kawasan kristen saat ini). dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibu kota eropa dan dunia kristen saat itu) kemudian perang Salib yang kalah menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan dunia islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi  barat sebagai "musuh".
        Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia, sebagai pelanjut paham Sunni madzhab Hanbali aliran aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kotroversi dan polemik mereka.
       Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara islam" Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ke tiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.

Eksperimen Madinah.
        Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi Saw. Sendiri setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah (al-Madinah, kota parexcellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabis saw. Bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari tuhan, yaitu menciptakan masyarakata berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan sesuatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.
         Negara madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosialogi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam islam. Muhammad Arkoun salah, seorang pemikir Islam kompontorer terdepan menyebut usaha Nabi saw itu sebgai "Eksperimen Madinah"
           Menurut Muhammda Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial)