Home » » Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah Religio-Magisme

Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah Religio-Magisme

       Setiap gerakan pembaharuan atau pemurnian agama (islam)tentu mencakup agenda pemberantasan bid'ah dan Khurafat. Sebagai tidankan menambha-nambah hal baru kepada agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri. Perbuatan bid'ah tentu akan berakibat mengaburkan ajaran agama yang murni. Dan sebagai kepercayaan objek-objek yang palsu khurafat dengan sendirinya sudah merupakan penyimpangan dari kemurnian agama.
     
     Walaupun begitu untuk menentukan mana yang bid'ah mana pula yang khurafat bukanlah perkara yang dapat dengan mudah disepakati oleh semua kelompok islam. Adalah sangat logis bahwa masing-masing kelompok mengaku sebagai penganut ajaran yang murni, yang bebas dari bid'ah dan khurafat. Beberapa gerakan islam memiliki konsep yang tegas tentang apa yang mereka pandang sebagai bid'ah dan khurafat serta melancarkan program pemberantasannya dengan gigih, dan berhasil, contoh yang paling tegas dalam hal ini adalah gerakan pemurnian yang dipelapori oleh Syaikh Muhammad ibn 'Abd-u"I-Wahab (1115-120 H/1703-1787) di Jazirah Arabia, yang memprioritaskan penghancuran makam-makam"suci" sebagai salah satu agenda pemurnian dimanapun mereka berhasil berkuasa. Gerakan pemurnian yang kemudian dikenal sebagai gerakan "Wahhabi" itu adalah yang paling berhasil dari usaha serupa diseluruh dunia Islam.
   Seabagai wujud lahirlah kesuksesan pemurnian oleh kaum Wahhabi, Jazirah Arabia merupakan sebuah negeri Muslim, yang paling bebas dari praktik perhormatan berlebihan kepada makam-makam. Kecuali makam nabi Madinah yang gagal mereka hancurkan (konn karena kerasnya ancaman dari negara-negara Islam,khususnya dari Turki yang waktu itu masih perkasa), seluruh makamdi negeri itu, termasuk makam-makam para syuhada, Badar dan Uhud, telah mereka ratakan dengan tanah sama sekali.

Pengahayatan Keagamaan Populer.
    Sebagai rahmat untuk sekalian alam,sesuai dengan penegasan diutusnya Nabi Muhammad saw, islam adalah untuk kebahagiaan semua orang, tanpa membeda-bedakan tinggi rendahya dalam kemampuan manusiawi pribadi (seperti kempuan intelektual) maupun dalam kedudukan sosial. Oleh karena itu adanya pengahayatan keagamaan populer, dlaam arti oleh kalangan umum  (awwam, "awam") yanga biasanya juga menjadi bagian terbesar masyarakat, bukanlah sesuatu yang dengan sednirinya mengandung kesalahn, kekurangan atau cacat. Nialai keagamaan seseotrang berupa adanya taqwaa dan hidayah dari tuhan tidaklah tergantung kepada tingkat kemampuan intelektual ataupun kedudukan sosial. Ini jelas merupakan ajaran moral dibalik  teguran Tuhan dalam al-Qur'an kepada nabi ketika beliau tampak hanya mau meladeni "orang besar" dan mengabaikan "orang kecil".
        Dia (muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena datang kepadanya seorang buta. Apakah engkau tahu (wahai Muhammad), kalau-kalau dia (orang buta) itu bersih jiwanya?Atau dia itu hendak belajar, kemudian ajaran itu bermanfaat baginya? Sedangkan orang yang serba berkecukupan maka, engkau berikan perhatian. Padahal tidak mengapa bagimu sekiranya dia (orang kaya) itu tidak bersih jiwa. Dan adapun orang yang datang bergegas lagipula  dia itu bertakwa maka engkau mengabaikannya. Janganlah begitu! sesungguhnya ia (ayat-ayat)ini adalah peringatan . Maka siapa saja yang mau ia akan memerhatikan. Dalam lembaran-lembaran yang terhormat tinggi dan suci. Ditagan para utusan (malaikat), yang mulia dan selalu berbakti. (QS. Abasa: 1-16).
     Dari peristiwa yang dituturkan dari kitab suci itu jelas sekali bahwa kesucian jiwa bukanlah sesuatu yang mempunyai kaitan positif dengan kedudukan sosial seseorang. Maka dalam skema itu penyebutan sesuatu sebagai "penghatan keagamaan populer" tidak dengan sendirinya mengandung nilai kerendahan atau kekurangan karena itu ada petunjuk agar kita berbicara kepada seseorang sesuai dengan kemampuan berpikirnya.

Masalah Peningkatan
     Jadi, dalam hal esensi keimanan itu sendiri, Allah tidak membeda-bedakan antara manusia. Tetapi hal itu tidaklah berarti tidak ada masalah tinggi-rendah dalam kualitas keimanan itu. Bahkan, menurut Ibn Taimiyyah, dalam al-Qur'an ada acuan kepada tiga tingkatan keimanan kalangan orang-orang Muslim: (1) orang beriman yang masih salim, (2)orang beriman yang sedang atau menengah dalam berbuat kebaikan, dan (3)orang beriman yang cepat dan bergegas menuju kepada berbagai kebaikan Firman Allah:
     Dan yang kami (tuhan)wahyukan kepada engkau (muhammad),yaitu kitab ini, itulah yang benar, untuk mendukung kebenaran (kitab-kitab) yang sudah ada sebelumnya. Sungguh Allah maha teliti dan Maha melihat akan hamba-hambanya . Kemudian kami wariskan Kitab itu kepada mereka yang kami pilih dikalangan hamba-hamba kami. Maka dari antara mereka ada yang zalim kepada dairi mereka sendiri, diantaranya lagi ada yang sedang, dan diantaranya lagi ada yang cepat kepada berbagai lebaikan dengan perkenan Allah. Itu adalah anugerah yang besar. (QS Fathir ::31-32)
      Menurut kitab suci lagi pengingkatan dari suatu jenjang ke jenjang adalah melalui karunia ilmu, sebagai penunjang atau pelengkap bagi iman. Dan disini ilmu dalam arti yang seluas luasnya, termasuk sudah tentu ilmu tentang ajaran agama itu sendiri. Hal ini tentu saja sangat logis, karena imam tanpa pengetahuan tentang apa yang diimani tentu akan mengahasilkan keimanan yang berkualitas rendah, disebabkan oleh rendahnya keinsafan akan makna pesan ilahi dalam agama. Firman Allah yang banyak dikutip itu adalah demikian allah mengungkap mereka yang beriman di antara kamu dan diberi anugrah ilmu keberbgaai tingkat (yangtinggi) oleh karena itu sebuah firman juga secara retorik (khathabi) mengajukan pertanyaan, apakah sama mereka yang berilmu? sesungguhnya yang dapat menrima pengajaran hanyalah mereka yang berpikiran mendalam (QS az-zumar:9).

silahkan baca juga
  1. Implikasi Sosial-Keagamaan Muhammad Sebagai Penutup Utusan Allah
  2. Konsep Muhammad SAW Sebagai Penutup Para Nabi